Berjamaah Tapi Pecah: Sebuah Renungan untuk Umat dan Para Tokoh Agama


PELITA MAJALENGKA
- Ketika hati-hati yang seharusnya terpaut dalam cinta karena Allah justru saling menjauh karena ego dan prasangka, saat itulah kita mesti bertanya: masihkah kita benar-benar berjamaah, atau hanya sekadar bersama dalam keretakan yang tak terlihat?

Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Qs. Al-Hujurat: 10)

Di tengah gempuran zaman dan kompleksitas kehidupan modern, umat Islam justru dihadapkan pada fenomena yang menyedihkan: berjamaah tapi pecah. Tampak dari luar seolah-olah kita satu barisan, tetapi di dalamnya retak dan penuh celah. 

Lidah kita menyerukan ukhuwah, tetapi hati kita menyimpan luka, prasangka, dan persaingan yang tak sehat. Masing-masing mengusung panji kebenaran, tetapi kadang lupa bahwa kebenaran sejati adalah yang mendamaikan, bukan memecah belah.

Ini bukan hanya renungan untuk jamaah awam, tetapi lebih-lebih muhasabah mendalam untuk para ustadz, ulama, dan tokoh agama. Betapa banyak umat yang bingung karena para panutannya justru saling sindir, saling menjatuhkan, dan membangun benteng eksklusif seolah hanya kelompoknyalah yang selamat. Dakwah yang sejatinya menyejukkan berubah menjadi medan adu argumen yang menyulut api perpecahan.

Apakah ini wajah Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW? Mari kita jujur. Rasulullah membangun umat dengan kasih sayang, bukan dengan penghakiman. Beliau menguatkan jamaah dengan cinta, bukan dengan celaan. 

Lalu, mengapa kita malah memupuk benih pertikaian atas nama dakwah? Mengapa kita tidak gentar ketika umat yang di bawah kita menyaksikan perpecahan itu dan kehilangan kepercayaan?

Ukhuwah Islamiyah bukan slogan. Ia adalah perintah Allah, jalan menuju rahmat dan kemenangan. Namun, ukhuwah itu menuntut kesungguhan untuk menundukkan ego, menahan lisan, serta meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan umat. 

Tidak ada kemuliaan dalam merasa paling benar dan meniadakan orang lain. Yang ada adalah kehancuran jika kita tidak segera menyadari bahwa berjamaah tanpa hati yang terpaut adalah kesia-siaan.

Para ulama terdahulu mengajarkan adab dalam berbeda. Mereka berselisih pendapat dalam banyak hal, tetapi tidak pernah memecah belah umat. Imam Syafi’i pernah berkata kepada Imam Malik, “Pendapatku benar, tetapi bisa saja salah. Pendapat orang lain salah, tetapi bisa saja benar.” Sebuah sikap rendah hati yang menghidupkan ilmu dan memelihara ukhuwah.

Hari ini kita butuh lebih banyak tokoh yang menjadi jembatan, bukan tembok. Kita butuh lebih banyak ustadz yang mendekap, bukan mendorong. Kita butuh ulama yang air mata dan doanya menjadi pelita di tengah gelapnya perselisihan umat, bukan yang menambahkan bensin dalam api pertikaian.

Wahai para dai, wahai para penggerak umat, tidakkah kita takut akan firman Allah:
"Janganlah kalian seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapat azab yang besar." (Qs. Ali ‘Imran: 105)

Berhentilah membangun menara kebenaran yang mengisolasi, dan mari membangun rumah ukhuwah yang menaungi. Kemenangan Islam tidak pernah dan tidak akan datang dari perpecahan. Kemenangan datang dari kebersamaan, dari ketundukan kita kepada Allah, dan dari kerendahan hati kita kepada sesama saudara.

Mari kita peluk kembali saudara-saudara kita yang berbeda jalan, tetapi satu tujuan. Mari kita duduk dalam forum-forum yang mempertemukan hati, bukan sekadar menyatukan argumentasi. Mari kita ajarkan kepada umat bahwa Islam itu indah ketika perbedaan disikapi dengan cinta, bukan curiga.

Sebab, yang paling rugi dari perpecahan bukanlah nama baik kita. Yang paling rugi adalah umat yang kehilangan arah, dan Islam yang kehilangan cahaya di mata dunia. Jangan biarkan berjamaah kita hanya sebatas formasi, tanpa substansi. Mari jadikan ukhuwah bukan sekadar seruan, tapi pengorbanan nyata.

Semoga Allah menyatukan hati kita, mengampuni khilaf kita, dan menjadikan kita hamba-hamba yang mencintai-Nya dengan cara mencintai sesama saudara seiman.

“Ya Allah, perbaikilah hubungan di antara kami, satukan hati kami, tunjukkan kami jalan keselamatan, dan keluarkan kami dari kegelapan kepada cahaya.” (Amin ya Rabbal ‘Alamin)