Dibutakan Harta, Diperdaya Takhta, Ditinggalkan Wanita


PELITA MAJALENGKAN - Dalam perjalanan hidup manusia, ada tiga ujian besar yang sering kali menjadi penentu arah dan kualitas hidup seseorang: harta, takhta, dan wanita. Ketiganya merupakan nikmat sekaligus fitnah (ujian) yang dapat mengangkat derajat manusia jika disikapi dengan bijak, namun bisa juga menjerumuskannya ke jurang kehinaan jika disalahgunakan. 

Fenomena “dibutakan harta, diperdaya takhta, dan ditinggalkan wanita” menjadi gambaran konkret bagaimana manusia bisa tergelincir ketika tidak mampu mengendalikan hawa nafsu dalam menghadapi tiga godaan tersebut.

1. Dibutakan Harta: Ketamakan yang Menyesatkan

Manusia memang memiliki kecenderungan mencintai harta secara berlebihan. Al-Qur’an menegaskan:
“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (Qs. Al-Fajr: 20)

Harta seharusnya menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menebar manfaat bagi sesama. Namun ketika cinta harta menutupi mata hati, seseorang bisa terjerumus dalam keserakahan, korupsi, riba, penipuan, bahkan menghalalkan segala cara demi memperkaya diri. Inilah yang disebut “dibutakan harta”. Mata jasmani masih terbuka, namun mata hati tertutup untuk membedakan yang halal dan haram.

Fenomena ini banyak terjadi di masyarakat modern. Demi gaya hidup mewah, seseorang rela berutang, memanipulasi data, hingga menjual harga diri. Nilai-nilai kebaikan dan integritas dikorbankan di altar kemewahan semu. 

Padahal, dalam pandangan Islam, harta hanyalah titipan yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ditanya tentang… hartanya, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan.” (HR. Tirmidzi)

2. Diperdaya Takhta: Kekuasaan yang Memabukkan

Takhta atau kekuasaan merupakan amanah yang sangat berat. Dalam sejarah, tak terhitung pemimpin yang tergelincir karena terlena oleh manisnya kekuasaan. Saat seseorang merasa berkuasa, ia bisa lupa bahwa jabatan hanyalah titipan, bukan milik kekal. Dari sinilah muncul kezaliman, penyalahgunaan wewenang, nepotisme, bahkan kekerasan terhadap rakyat.

Al-Qur’an mencatat kisah Fir’aun sebagai peringatan. Seorang penguasa yang mengaku sebagai tuhan karena merasa memiliki kuasa mutlak, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (Qs. An-Nazi’at: 24)

Kekuasaan bisa memperdaya ketika tidak dibarengi dengan rasa takut kepada Allah dan kesadaran akan keterbatasan diri. Seseorang bisa merasa tidak tersentuh hukum, tidak butuh nasihat, dan tidak lagi mendengarkan suara rakyat. 

Hal ini seringkali berakhir pada keruntuhan moral dan kehancuran kekuasaan itu sendiri. Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan, “Pemimpin yang paling buruk adalah pemimpin yang kejam dan menyesatkan.” (HR. Ahmad)

Seharusnya, takhta digunakan untuk menegakkan keadilan, melayani masyarakat, dan menghindari perilaku otoriter. Pemimpin yang adil akan mendapatkan naungan Allah di hari kiamat (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Ditinggalkan Wanita: Ilusi Cinta yang Melemahkan

Wanita dalam kehidupan laki-laki sering kali menjadi motivasi, tetapi juga bisa menjadi ujian berat. Al-Qur’an menyebut bahwa kecintaan terhadap wanita adalah salah satu perhiasan dunia yang menggoda:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu… wanita…” (QS. Ali-Imran: 14)

Banyak pria sukses yang akhirnya jatuh karena godaan wanita. Bukan karena wanita itu jahat, melainkan karena laki-lakinya tidak mampu menjaga pandangan dan syahwatnya. Ketika cinta tak lagi disandarkan pada nilai iman, hubungan bisa menjadi racun yang mematikan.

Kisah Nabi Yusuf AS menjadi teladan dalam hal ini. Ia digoda oleh Zulaikha, seorang wanita cantik dan terpandang. Namun karena takut kepada Allah, Nabi Yusuf AS menolak ajakan Zulaikha meskipun godaan itu datang dalam situasi yang sangat sulit dan menggoda. 

Dalam Al-Qur'an, Allah menceritakan bahwa Zulaikha mengunci pintu-pintu dan mengajak Yusuf untuk berzina, namun Yusuf berkata, “Ma‘āżallāh (Aku berlindung kepada Allah)! Sesungguhnya tuanku telah memperlakukan aku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan beruntung.” (Qs. Yusuf: 23)

Ketakwaan Nabi Yusuf AS menjadi tameng yang kuat dalam menjaga kehormatan dirinya. Ia lebih memilih dipenjara daripada melakukan dosa besar, sebagaimana ia berdoa, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika Engkau tidak hindarkan tipu daya mereka dariku, niscaya aku akan cenderung kepada mereka dan aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Qs. Yusuf: 33)

Kisah ini menjadi pelajaran besar bagi siapa saja yang ingin menjaga diri dari maksiat. Yusuf AS menunjukkan bahwa rasa takut kepada Allah dan kesadaran akan pengawasan-Nya adalah kunci utama dalam menjaga kehormatan dan kesucian diri. Meskipun tidak ada orang yang melihatnya, tetapi keyakinannya bahwa Allah Maha Melihat membuatnya teguh dalam iman.[Ba]