Di Balik Runtuhnya Tebing Akibat Longsor, Tersimpan Keteguhan Hati Warga Cikijing


PELITA MAJALENGKA
- Sore itu langit mendung menggelayut di atas Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka. Hujan mengguyur deras sejak siang, seolah menyuarakan keresahan alam yang tak tertahankan. Di Blok Cipasung, Desa Sindangpanji, tak seorang pun menduga bahwa aliran air dari langit itu akan membawa bencana. Sekitar pukul 16.00 WIB, tebing di sisi jalan nasional yang menghubungkan Majalengka dengan Kabupaten Kuningan runtuh seketika, menumpahkan tanah, bebatuan, dan serpihan pepohonan ke badan jalan.

Suara gemuruh tanah longsor itu mengejutkan warga sekitar dan pengendara yang kebetulan melintas. Dalam hitungan detik, akses utama antara dua kabupaten ini lumpuh. Longsoran yang tebal dan luas menutupi hampir seluruh badan jalan, membuat kendaraan tak bisa lagi melaju. Beberapa sopir hanya bisa memandangi jalanan yang kini menjadi ladang tanah liat, tak berdaya menghadapi alam yang sedang berbicara dalam bahasa kuasanya.

Di tengah kepanikan itu, sekelompok petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dibantu TNI dan kepolisian, datang dengan sigap. Mereka tak menunggu hujan berhenti. Dalam dinginnya malam, tubuh mereka basah kuyup, namun semangat tak goyah. Dengan alat seadanya, mereka mulai membersihkan material longsoran. Jari-jari mereka menggigil, wajah mereka penuh lumpur, namun tekad mereka tak sedikit pun surut.

“Saat kami tiba, seluruh badan jalan sudah tertutup material longsor. Tidak ada cara lain selain menutup total jalur ini,” ungkap Wawan Suryawan, Penata Penanggulangan Bencana Ahli Pertama BPBD Majalengka.

Ia menambahkan, hingga malam, belum bisa dipastikan seberapa tinggi tebing yang longsor dan berapa volume tanah yang menutupi jalan. Namun prioritas utama saat ini adalah memastikan keselamatan warga. Jalur alternatif pun disiapkan dengan cepat. Kendaraan kecil bisa melintas melalui Desa Gunungmanik di Kecamatan Talaga atau rute Cidulang–Cipulus menuju Gunung Sirah, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan. Tapi bagi kendaraan besar seperti truk dan bus, harapan untuk melintasi jalur ini harus ditunda.

Salah satu pengendara, Pak Adang, sopir travel dari Majalengka yang hendak menuju Kuningan, hanya bisa menghela napas panjang saat melihat jalur yang tertutup total. “Biasanya saya lewat sini hampir setiap hari. Hari ini saya lihat jalan ini seperti bukan jalan lagi, seperti luka menganga di tengah alam,” ucapnya lirih.


Longsor ini bukan hanya memutus jalur fisik, tetapi juga membuka ruang empati yang dalam dari masyarakat. Warga sekitar dengan sukarela menyeduhkan kopi panas untuk para petugas, memberikan roti dan air minum, serta menyalakan lampu di sekitar area bencana agar evakuasi bisa terus berjalan.

“Ini jalan yang kami lewati tiap hari. Kalau jalan ini tertutup, seolah hidup kami pun ikut tertahan,” tutur Ibu Warti, warga Desa Sindangpanji yang rumahnya tak jauh dari lokasi longsor. “Tapi kami percaya, seperti hujan yang akhirnya reda, jalan ini pun akan kembali terbuka.”

Bencana memang tak pernah memilih waktu dan tempat. Namun dalam setiap kepingan musibah, selalu ada potret keteguhan, gotong royong, dan harapan yang terus tumbuh. Dari lumpur yang membenam jalan, tampak tangan-tangan yang saling menguatkan.

Cikijing mungkin tengah terluka, tapi semangat warganya tetap menyala. Di balik runtuhnya tebing, tersimpan kisah keteguhan hati, kesigapan para petugas, dan cinta warga pada kampung halamannya. Dan di atas semuanya, ada harapan: bahwa jalan ini, yang kini diam dalam derai hujan dan tanah basah, akan kembali pulih, seperti sedia kala—menjadi penghubung, bukan hanya antar kota, tapi antar hati manusia.[Ba]