Antara Layar dan Pelukan: Saatnya Orang Tua Merenung Tentang Peran Gadget dalam Hidup Anak

Terlalu sering main gadget bisa menghambat perkembangan anak

PELITA MAJALENGKA - Mata itu tampak kosong menatap layar. Jemarinya lincah menyapu permukaan ponsel, namun tak ada binar yang memancar dari wajah kecilnya. Ia bukan sedang belajar membaca huruf hijaiyah, bukan pula menghafal ayat suci atau mendengarkan dongeng penuh hikmah. Ia tengah larut dalam permainan virtual, di dunia yang tak mengajarkannya cara mencintai, berempati, atau berbicara sopan kepada orang tua.

Pemandangan seperti ini bukan lagi hal langka. Gadget kini telah menjadi “pengasuh modern” di banyak rumah tangga. Anak-anak dibiarkan bermain gawai berjam-jam, tanpa pendampingan, tanpa pengawasan. Padahal, masa kanak-kanak seharusnya dipenuhi pelukan hangat, percakapan bermakna, dan pelajaran kehidupan yang ditanamkan lewat kasih sayang, bukan layar datar yang dingin dan tak berjiwa.

Apakah kita, para orang tua, sedang abai? Atau barangkali kita sendiri yang tak mampu melepaskan diri dari jerat candu digital, hingga anak-anak tumbuh meniru cara kita hidup yang kering dari kedekatan emosional? Ironisnya, niat awal memberikan gadget sering kali dianggap sebagai bentuk kasih sayang, hadiah, atau solusi agar anak tidak rewel. Namun, tanpa disadari, kita tengah membuka pintu bagi kemungkinan rusaknya masa depan mereka—secara mental, spiritual, bahkan sosial.

Penelitian demi penelitian menunjukkan dampak penggunaan gadget berlebih pada anak-anak: penurunan daya konsentrasi, keterlambatan bicara, menurunnya kepekaan sosial, hingga menipisnya kedekatan emosional dalam keluarga. Anak-anak tumbuh dalam dunia yang cepat, namun miskin makna. Mereka hafal karakter game, tetapi tidak tahu nama nabi-nabi. Mereka bisa meniru gaya selebritas dunia maya, tapi gagap saat diminta membacakan doa harian.

Ini bukan sekadar soal teknologi, tapi tentang tanggung jawab. Bukan tentang melarang, melainkan membimbing. Bukan menyalahkan zaman, melainkan memperbaiki pola asuh. Karena sejatinya, bukan gadget yang merusak, tapi bagaimana orang tua mengelola penggunaannya. Anak-anak ibarat kertas putih, dan kitalah pena yang mengguratkan makna pada kehidupan mereka.

Kini saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Sudahkah kita menjadi teman bagi anak-anak kita? Ataukah kita telah menyerahkan mereka kepada layar, berharap mereka tumbuh baik-baik saja tanpa sentuhan cinta sejati? Mari kembali kepada pelukan, kepada dialog, kepada pelajaran hidup yang nyata. Mari hadir, bukan hanya secara fisik, tapi juga dengan hati yang utuh.

Karena sejatinya, anak tidak hanya butuh gadget pintar, mereka lebih butuh orang tua yang bijak. Mereka tidak hanya perlu akses ke dunia luar, tapi lebih membutuhkan panduan menuju masa depan yang benar. Waktu tak akan pernah kembali, dan masa kecil yang hilang tak bisa diputar ulang.

Jangan sampai kita menangis di kemudian hari, karena menyesal telah melewatkan saat-saat paling berharga dalam tumbuh kembang anak. Saatnya introspeksi. Bukan besok, tapi hari ini. Sebelum mereka benar-benar menjauh, bukan karena mereka tak sayang, tapi karena kita tak pernah benar-benar hadir.[Ba]