Berjubah Tapi Zalim


PELITA MAJALENGKA
- Ia datang ke masjid dengan jubah panjang dan sorban melingkar di kepala. Langkahnya mantap, ucapannya lantang menyebut nama Allah. Tapi di balik kemegahan kain yang membungkus tubuhnya, ada hati yang keras dan tangan yang ringan menyakiti. Berjubah, tapi zalim. Inilah ironi yang semakin sering terlihat di tengah umat.

Islam tidak hanya tinggal di lemari pakaian. Ia bukan sekadar tampilan luar, bukan hanya serban, gamis, atau celana cingkrang. Islam itu akhlak. Islam itu adil. Islam itu kasih sayang. Maka sungguh menyayat hati, ketika seseorang tampak seperti ulama di luar, tapi rumah tangganya porak-poranda oleh kekerasan dan kezaliman. Anak-anak takut mendekat, istri menangis diam-diam, dan tetangga mengeluh di belakang.

Apa arti jubah jika lidahnya tajam seperti pedang?
Apa makna panjangnya sajadah jika kaki sering melangkah ke tempat maksiat?
Apa gunanya rajin kajian jika hatinya kering dari kasih dan empati?

Rasulullah SAW adalah sosok yang paling sederhana dalam tampilan, tapi paling agung dalam perilaku. Beliau tak pernah memukul istri, tak pernah membentak anak-anak, tak pernah berlaku kasar pada sahabat. Bahkan terhadap musuh pun, beliau bersikap adil dan manusiawi. Maka bila ada orang yang mengaku mengikuti sunnah, tapi jiwanya dipenuhi amarah dan arogansi—itu bukan sunnah, itu penyakit hati yang dibungkus agama.

Zalim itu bukan hanya menumpahkan darah.
Zalim itu ketika suami meninggikan suara pada istri yang lelah.
Zalim itu saat ayah memaki anak-anak hanya karena perkara sepele.
Zalim itu ketika seseorang merasa paling suci dan menilai orang lain kafir hanya karena berbeda pemahaman.

Mari kita jujur: betapa banyak di antara kita yang menuntut istri untuk taat, tapi lupa menunaikan haknya dengan kasih. Betapa banyak yang menyeru amar ma’ruf di mimbar, tapi hatinya benci dan dengki terhadap sesama aktivis dakwah. Betapa banyak yang menangis dalam sujud malam, tapi di pagi hari menipu saudara sendiri dalam urusan bisnis.

Jubah tidak membuatmu suci. Yang menyucikan adalah akhlak dan kejujuran. Islam bukan drama. Bukan topeng yang dikenakan hanya di depan orang banyak. Islam adalah nur (cahaya) yang terpancar dalam gelapnya ujian hidup—di saat tidak ada yang melihatmu, kecuali Allah.

Wahai saudaraku yang mencintai agama, mari kita luruskan kembali jalan kita. Mari berdakwah dengan kelembutan, bukan dengan umpatan. Mari mencintai keluarga lebih dari kita mencintai ceramah. Karena rumah yang penuh cinta, adalah madrasah terbaik menuju surga.

Beragama itu bukan sekadar soal “bagaimana kita dilihat manusia”, tapi “bagaimana kita dipandang oleh Allah.” Maka jangan kau bawa jubahmu ke neraka karena kezaliman yang tak pernah kau sesali. Jangan kau rusak cahaya Islam hanya karena kau memaksa orang lain tunduk pada egomu.

Berjubah itu mulia. Tapi jangan kau nodai kemuliaannya dengan kezaliman.[Ba]