Agama Tanpa Akhlak, Islam Disalahkan, Padahal Pemeluknya yang Lalai


PELITA MAJALENGKA
- Di zaman yang disebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai akhir zaman, kita menyaksikan fenomena menyedihkan: banyak orang mengaku Muslim, bahkan bangga dengan identitas Islamnya, tetapi perilakunya jauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Ironisnya, ketika perilaku menyimpang itu menimbulkan masalah sosial, yang disalahkan justru agama Islam—bukan orang yang mencoreng wajah Islam dengan akhlak buruknya.

Padahal, Islam adalah agama yang diturunkan Allah bukan hanya sebagai sistem ibadah, tetapi juga sebagai pedoman akhlak mulia. Rasulullah sendiri menegaskan dalam sabdanya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad). Artinya, esensi dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah memperbaiki moral manusia, membentuk karakter yang luhur, dan menjadikan akhlak sebagai identitas utama seorang Muslim.

Namun hari ini, betapa banyak orang yang shalat tapi masih suka menipu. Berjilbab tapi gemar bergosip. Rajin ke pengajian, tapi kasar dalam ucapan dan meremehkan orang lain. Mereka fasih berbicara soal syariat, tetapi lalai menjalankan adab. Agama hanya menjadi tampilan luar, bukan jiwa yang menyatu dengan akhlak. Inilah yang menjadi bumerang bagi umat Islam sendiri.

Ketika Islam Disalahpahami karena Ulah Muslim

Saat terjadi tindakan korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, atau penipuan yang dilakukan oleh seseorang yang berpenampilan religius, media dengan mudah menyorot identitas keislamannya. Tak jarang, Islam ikut tercemar karena perilaku pemeluknya yang jauh dari nilai Islam. Padahal, agama tidak pernah salah. Yang salah adalah pemeluk yang menjauh dari ajaran Islam yang sejati.

Fenomena ini memperkuat sabda Nabi bahwa akan datang suatu masa di mana Islam hanya tinggal nama dan Al-Qur'an hanya tinggal tulisan. Masjid-masjid megah tapi kosong dari ruh keimanan dan akhlak. Ilmu dipelajari bukan untuk diamalkan, tapi untuk dipamerkan. Inilah zaman kita hari ini, zaman penuh simbol keislaman, tetapi minus dari esensinya: akhlak mulia.

Mengapa Bisa Terjadi?

Pertama, karena banyak Muslim hanya memahami Islam sebatas ibadah ritual: shalat, puasa, zakat, haji. Padahal, ibadah sejati bukan hanya menyembah Allah, tapi juga memperbaiki hubungan dengan sesama manusia. Islam mengajarkan keseimbangan antara hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan dengan manusia). Bila salah satu terabaikan, maka bangunan Islam seseorang menjadi timpang.

Kedua, kurangnya pendidikan akhlak sejak dini. Kita sibuk menghafalkan ayat dan hadis, tapi lalai menanamkan makna dan aplikasinya. Anak-anak bisa membaca Al-Qur'an dengan indah, tapi tidak diajarkan untuk jujur, sabar, dan rendah hati. Akhirnya, Islam menjadi hafalan, bukan pembentuk karakter.

Ketiga, dominasi budaya hedonis dan materialis yang meracuni pikiran umat. Ukuran kesuksesan menjadi harta dan jabatan, bukan akhlak dan amal. Orang yang jujur dianggap bodoh, sementara yang licik dipuji karena “cerdas”. Ini semua menjauhkan umat dari nilai Islam yang sejati.

Saatnya Kita Sadar dan Merenung

Sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: “Aku mengaku Muslim, tapi apakah akhlakku mencerminkan Islam?” Apakah aku ramah, jujur, sabar, pemaaf, dermawan, rendah hati—sebagaimana dicontohkan Rasulullah? Ataukah aku hanya Muslim di KTP, namun jauh dari akhlak Nabi?

Islam bukan sekadar simbol. Bukan hanya pakaian, sorban, atau label “ustaz” dan “haji”. Islam adalah tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain, bagaimana kita menjaga hati, lisan, dan perilaku. Islam adalah kesatuan antara ibadah dan akhlak.

Jika umat Islam ingin dihormati kembali, maka mulailah dari memperbaiki akhlak. Karena itulah kunci kemenangan dan kejayaan Islam sepanjang sejarah. Lihatlah bagaimana Rasulullah menaklukkan hati para musuhnya: bukan dengan pedang, tetapi dengan akhlak yang mulia. Seorang Yahudi buta yang awalnya membenci Nabi justru masuk Islam karena menyaksikan akhlak beliau. Inilah kekuatan sejati Islam.

Mari Berbenah

Mari kita berhenti menyalahkan Islam atas perilaku buruk sebagian pemeluknya. Justru kitalah yang harus instrospeksi: apakah kita sudah mencerminkan keindahan Islam dalam kehidupan sehari-hari?

Yuk, kita mulai dari diri sendiri. Perbaiki niat, luruskan akhlak, dan hadirkan Islam dalam ucapan serta tindakan. Karena sejatinya, Islam yang indah akan tampak melalui akhlak indah para pemeluknya.[]