Negeri yang Dipimpin Ego, Rakyatnya Jadi Korban

Ego melahirkan kesombongan, menutup mata dari kenyataan, dan membungkam suara hati nurani. 
PELITA MAJALENGKA - Ketika sebuah negeri dipimpin oleh mereka yang menjadikan ego sebagai kompas, maka arah perjalanan bangsa pun akan tersesat. Ego melahirkan kesombongan, menutup mata dari kenyataan, dan membungkam suara hati nurani. Rakyat yang seharusnya menjadi pusat perhatian justru dipinggirkan, dilupakan, bahkan dijadikan tumbal demi memuaskan kepentingan penguasa. Negeri seperti itu tidak lagi berdiri di atas nilai keadilan, melainkan berdiri di atas tumpukan penderitaan.

Di setiap jalanan, kita melihat wajah-wajah letih rakyat kecil. Mereka berjuang mencari sesuap nasi, sementara di istana kekuasaan jamuan mewah digelar tanpa rasa bersalah. Anak-anak kurus berlarian tanpa alas kaki, menahan lapar, sedangkan para pejabat berdebat soal kursi, jabatan, dan harta. Inilah potret negeri yang dipimpin oleh ego—sebuah negeri yang melupakan tangis rakyatnya, dan lebih sibuk dengan ambisi pribadi.

Ego penguasa menciptakan jurang yang semakin dalam antara yang kaya dan yang miskin. Ketika kebijakan dibuat hanya untuk menguntungkan segelintir orang, rakyat kecil terpaksa menelan pahitnya kesenjangan. Mereka yang seharusnya mendapat perlindungan justru menjadi korban dari permainan politik penuh tipu daya. Negeri berubah menjadi ladang kompetisi rakus, bukan ladang pengabdian untuk kesejahteraan bersama.

Sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa negeri yang dipimpin oleh ego akan runtuh pada waktunya. Fir’aun tumbang karena kesombongan, Qarun binasa karena kerakusan, dan raja-raja zalim hilang karena lupa akan amanah. Namun, anehnya, sejarah yang seharusnya menjadi cermin justru diabaikan. Para pemimpin masih asyik dengan pesta kekuasaan, menutup telinga dari jeritan rakyat yang kian nyaring.

Rakyat menjadi korban dalam berbagai rupa: harga-harga melambung tinggi, lapangan pekerjaan semakin sempit, kesehatan dan pendidikan yang mestinya hak asasi justru dijadikan komoditas. Mereka yang miskin semakin terhimpit, sementara yang berkuasa hidup dalam kemewahan yang jauh dari kenyataan rakyatnya. Sungguh, ini adalah pengkhianatan terhadap janji-janji manis yang pernah diucapkan saat kampanye.

Lebih menyayat hati lagi, ketika suara kritis rakyat dibungkam, dianggap ancaman, bahkan diperlakukan seolah-olah musuh negara. Padahal, rakyat hanyalah ingin menyampaikan jeritan mereka. Negeri yang dipimpin ego tidak akan pernah tahan dengan suara kejujuran, sebab ego hanya suka dipuja, bukan dikritik. Dari sinilah lahir otoritarianisme, di mana penguasa menganggap dirinya selalu benar, dan rakyat hanya pantas untuk taat tanpa bertanya.

Namun, siapa yang paling menderita? Bukan penguasa. Bukan pula para elite yang bersembunyi di balik harta. Yang paling menderita adalah rakyat kecil: para petani yang gagal panen karena harga tak menentu, para buruh yang diupah murah tapi diperas tenaganya, para pedagang kecil yang harus tutup lapak karena kebijakan tak berpihak. Mereka semua adalah korban nyata dari ego yang menjelma menjadi kebijakan zalim.

Negeri yang dipimpin oleh ego adalah negeri tanpa masa depan. Ia hanya hidup dari kepura-puraan, menutup luka dengan janji-janji palsu. Tapi luka itu semakin bernanah, dan rakyat semakin terpuruk. Sebab keadilan tidak pernah benar-benar hadir, kesejahteraan hanya menjadi mimpi, dan kejujuran digantikan dengan tipu daya.

Apakah kita akan membiarkan negeri ini terus berada di jalur kehancuran? Apakah kita akan diam melihat rakyat kecil terus digilas? Setiap kita punya suara, setiap kita punya nurani. Negeri tidak akan berubah jika rakyat hanya diam. Negeri hanya akan membaik ketika suara kejujuran lebih lantang dari gemuruh ego penguasa.

Pada akhirnya, sejarah tidak akan menulis indah tentang pemimpin yang dipenuhi ego. Sejarah hanya akan mengenang mereka sebagai penguasa zalim yang meninggalkan luka mendalam bagi bangsanya. Tetapi sejarah juga akan mencatat bahwa ada rakyat yang bangkit, menuntut keadilan, dan tidak rela terus-menerus menjadi korban.

Sebab, negeri ini bukan milik segelintir orang yang berkuasa. Negeri ini milik rakyat. Dan selama rakyat masih punya nurani, harapan itu tetap ada—meski terkoyak, meski penuh luka. Karena pada akhirnya, ego akan tumbang, tetapi suara kebenaran akan abadi.[BA]