Ironi Negeri: Guru dan Dosen Dianggap Beban, Gaji DPR Naik 3 Juta Per Hari

Anggota DPR berjoget gembira saat gaji dinaikkan 3 juta per hari 

PELITA MAJALENGKA - Di negeri ini, logika seolah terbalik. Guru dan dosen yang setiap hari berjibaku mencerdaskan anak bangsa justru disebut sebagai “beban negara”. Sementara para wakil rakyat yang seharusnya bekerja untuk rakyat, malah menambah gaji hingga Rp3 juta per hari tanpa rasa malu. Apakah keadilan sosial hanya sekadar slogan tanpa makna?

Pernyataan Menteri Keuangan yang viral menyebut guru dan dosen sebagai beban negara, bagai tamparan keras di wajah para pendidik. Kata-kata itu bukan hanya menyakitkan, tetapi juga merendahkan martabat profesi mulia. Bukankah guru dan dosen adalah pondasi lahirnya generasi cerdas, inovatif, dan bermoral?

Cobalah bayangkan, tanpa guru, siapa yang akan mengajari huruf pertama hingga anak bisa membaca? Tanpa dosen, siapa yang melahirkan dokter, insinyur, pengacara, bahkan menteri itu sendiri? Tetapi mengapa profesi mereka dipandang sebelah mata, sementara jabatan politik justru penuh kemewahan dan privilese?

Sungguh ironis, negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, justru memperlakukan guru dan dosen seperti beban. Padahal bangsa yang maju adalah bangsa yang memuliakan pendidiknya. Jika para guru dan dosen terus diperlakukan tidak adil, maka jangan salahkan jika kualitas pendidikan bangsa ini semakin tertinggal.

Kita tidak menutup mata bahwa anggaran negara memang terbatas. Namun, benarkah gaji guru dan dosen yang relatif kecil itulah yang membebani APBN? Ataukah justru pengeluaran pejabat, fasilitas mewah, proyek tidak jelas, dan kenaikan gaji DPR yang sebenarnya menggerogoti keuangan negara?

Ketika rakyat kecil harus berhemat demi bisa makan sehari-hari, para wakil rakyat malah menambah pundi-pundi rupiah mereka. Ironi ini semakin menusuk hati ketika guru dan dosen masih banyak yang berstatus honorer, dengan gaji jauh di bawah UMR. Di manakah hati nurani para pengambil kebijakan?

Seharusnya, seorang pejabat menyadari bahwa jabatan adalah amanah. Amanah itu kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Tidak ada yang bisa lari dari hisab, tidak ada yang bisa menipu timbangan keadilan di akhirat. Maka, apakah pantas mengabaikan guru dan dosen, sementara menikmati gaji dan fasilitas melimpah?

Bangsa ini harus bercermin. Kita terlalu sering membanggakan gedung parlemen megah, tetapi melupakan ruang kelas reyot di desa-desa. Kita menggelontorkan dana besar untuk proyek mercusuar, tetapi membiarkan guru honorer menanti kepastian statusnya bertahun-tahun. Bukankah ini pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan?

Seorang anak bangsa hanya bisa bermimpi menjadi dokter atau insinyur karena ada guru yang sabar mengajarinya berhitung. Mereka bisa bermimpi menjadi pejabat karena ada dosen yang mengajarinya berpikir kritis. Tetapi ironisnya, ketika mimpi itu tercapai, banyak pejabat justru lupa jasa para pendidik.

Kata-kata bisa menjadi doa, tapi juga bisa menjadi luka. Pernyataan bahwa guru dan dosen adalah beban negara akan terus dikenang sebagai catatan kelam. Itu bukan hanya soal kebijakan, tetapi soal cara pandang terhadap pendidikan. Negeri ini butuh pemimpin yang menghargai ilmu, bukan yang merendahkan pilar pendidikan.

Mari kita renungkan sejenak. Jika guru dan dosen berhenti mengajar, apa yang akan terjadi pada bangsa ini? Gelapnya kebodohan akan menutup cahaya ilmu. Negara akan hancur, bukan karena perang, tetapi karena tiadanya generasi cerdas. Itulah mengapa menghina profesi guru dan dosen sama saja dengan menghancurkan masa depan bangsa.

Bangsa ini butuh kesadaran kolektif. Pejabat harus ingat, jabatan bukan hak, melainkan amanah. Hentikan memperlakukan guru dan dosen sebagai beban, karena mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Jika benar mencintai negeri ini, mulailah dari memuliakan pendidik. Sebab di tangan merekalah masa depan bangsa digenggam.[BA]