Pernyataan
Menteri Keuangan yang viral
menyebut guru dan dosen sebagai beban negara, bagai tamparan keras di wajah
para pendidik. Kata-kata itu bukan hanya menyakitkan, tetapi juga merendahkan
martabat profesi mulia. Bukankah guru dan dosen adalah pondasi lahirnya
generasi cerdas, inovatif, dan bermoral?
Cobalah
bayangkan, tanpa guru, siapa yang akan mengajari huruf pertama hingga anak bisa
membaca? Tanpa dosen, siapa yang melahirkan dokter, insinyur, pengacara, bahkan
menteri itu sendiri? Tetapi mengapa profesi mereka dipandang sebelah mata,
sementara jabatan politik justru penuh kemewahan dan privilese?
Sungguh
ironis, negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, justru memperlakukan
guru dan dosen seperti beban. Padahal bangsa yang maju adalah bangsa yang
memuliakan pendidiknya. Jika para guru dan dosen terus diperlakukan tidak adil,
maka jangan salahkan jika kualitas pendidikan bangsa ini semakin tertinggal.
Kita
tidak menutup mata bahwa anggaran negara memang terbatas. Namun, benarkah gaji
guru dan dosen yang relatif kecil itulah yang membebani APBN? Ataukah justru
pengeluaran pejabat, fasilitas mewah, proyek tidak jelas, dan kenaikan gaji DPR
yang sebenarnya menggerogoti keuangan negara?
Ketika
rakyat kecil harus berhemat demi bisa makan sehari-hari, para wakil rakyat
malah menambah pundi-pundi rupiah mereka. Ironi ini semakin menusuk hati ketika
guru dan dosen masih banyak yang berstatus honorer, dengan gaji jauh di bawah
UMR. Di manakah hati nurani para pengambil kebijakan?
Seharusnya,
seorang pejabat menyadari bahwa jabatan adalah amanah. Amanah itu kelak akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Tidak ada yang bisa lari dari hisab,
tidak ada yang bisa menipu timbangan keadilan di akhirat. Maka, apakah pantas
mengabaikan guru dan dosen, sementara menikmati gaji dan fasilitas melimpah?
Bangsa
ini harus bercermin. Kita terlalu sering membanggakan gedung parlemen megah,
tetapi melupakan ruang kelas reyot di desa-desa. Kita menggelontorkan dana
besar untuk proyek mercusuar, tetapi membiarkan guru honorer menanti kepastian
statusnya bertahun-tahun. Bukankah ini pengkhianatan terhadap cita-cita
kemerdekaan?
Seorang
anak bangsa hanya bisa bermimpi menjadi dokter atau insinyur karena ada guru
yang sabar mengajarinya berhitung. Mereka bisa bermimpi menjadi pejabat karena
ada dosen yang mengajarinya berpikir kritis. Tetapi ironisnya, ketika mimpi itu
tercapai, banyak pejabat justru lupa jasa para pendidik.
Kata-kata
bisa menjadi doa, tapi juga bisa menjadi luka. Pernyataan bahwa guru dan dosen
adalah beban negara akan terus dikenang sebagai catatan kelam. Itu bukan hanya
soal kebijakan, tetapi soal cara pandang terhadap pendidikan. Negeri ini butuh
pemimpin yang menghargai ilmu, bukan yang merendahkan pilar pendidikan.
Mari
kita renungkan sejenak. Jika guru dan dosen berhenti mengajar, apa yang akan
terjadi pada bangsa ini? Gelapnya kebodohan akan menutup cahaya ilmu. Negara
akan hancur, bukan karena perang, tetapi karena tiadanya generasi cerdas.
Itulah mengapa menghina profesi guru dan dosen sama saja dengan menghancurkan
masa depan bangsa.
Bangsa
ini butuh kesadaran kolektif. Pejabat harus ingat, jabatan bukan hak, melainkan
amanah. Hentikan memperlakukan guru dan dosen sebagai beban, karena mereka
adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Jika benar mencintai negeri ini, mulailah
dari memuliakan pendidik. Sebab di tangan merekalah masa depan bangsa
digenggam.[BA]