Umat Hancur Bukan karena Musuh, Tapi karena Pecah dari Dalam


PELITA MAJALENGKA
- Saat kita merenungi sejarah umat Islam, kita akan mendapati bahwa keruntuhan demi keruntuhan tidak selalu datang dari serangan luar, tetapi justru dari perpecahan di dalam. Musuh memang ada, tetapi kekuatan mereka baru berdampak saat umat ini kehilangan kekompakan, saling curiga, dan saling menjatuhkan. Rasulullah telah memperingatkan tentang bahayanya perpecahan, dan mengajarkan kita untuk bersatu dalam ukhuwah, bukan membangun tembok antara sesama saudara.

Perpecahan itu tak selalu dimulai dari hal besar. Ia bisa muncul dari rasa iri, ego yang menggunung, atau kebiasaan mengedepankan kelompok dibanding kebenaran. Ketika hati tak lagi dijaga, lisan tak lagi ditata, dan ukhuwah tak lagi dirawat, maka secara perlahan bangunan umat ini retak. Dan celah-celah itu menjadi pintu masuk bagi kehancuran yang tak bisa ditahan lagi.

Kita sering menyalahkan kondisi dunia, menyalahkan para penguasa, atau menyalahkan musuh Islam yang tampak kuat. Namun, musuh tidak akan pernah bisa mengalahkan kita selama kita bersatu, saling mencintai karena Allah, dan saling menguatkan dalam iman. Sebaliknya, umat yang tercerai-berai, akan tumbang bahkan sebelum musuh mengangkat senjata.

Umat ini butuh cinta, bukan celaan. Butuh pelukan, bukan perpecahan. Mari kita mulai dari diri sendiri: jaga lisan, lapangkan hati, dan muliakan saudaramu meskipun berbeda pandangan. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak menzalimi, tidak merendahkan, dan tidak mengabaikannya?

Wahai saudaraku, mari kita bangun kembali kekuatan umat ini dari dalam. Jangan biarkan hati kita keras karena perbedaan. Jangan biarkan perselisihan menjadi jalan bagi musuh untuk masuk. Sebab ketika kita bersatu karena Allah, tidak ada kekuatan di dunia yang mampu merobohkan kita. Namun jika kita pecah dari dalam, maka kita sendiri yang menghancurkan rumah kita dengan tangan kita sendiri.

Lihatlah kondisi umat hari ini. Kita shalat ke kiblat yang sama, berdoa kepada Tuhan yang sama, membaca kitab yang sama, namun hati kita tercerai. Kita terlalu sibuk memperdebatkan perbedaan, sampai lupa memperkuat persamaan. Kita membela kelompok dengan fanatik, tetapi membiarkan ukhuwah Islamiyah tercabik. Padahal, kekuatan umat ini lahir dari hati-hati yang bersatu, bukan dari barisan yang saling menyalahkan.

Betapa banyak orang di luar sana haus akan hidayah, namun kita yang lebih dulu mendapat petunjuk justru saling menyakiti. Masjid sepi karena kebencian, majelis hancur karena ego pribadi. Kita abaikan firman Allah dalam surah Al-Hujurat ayat 10, bahwa "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara." Jika saudara tak saling menguatkan, siapa lagi yang akan menjadi pelindung dalam badai zaman ini?

Kita pernah berjaya karena bersatu. Lihatlah generasi sahabat: mereka berasal dari suku-suku yang dulu saling memusuhi, tetapi kemudian menjadi satu tubuh karena Islam. Perbedaan mereka tak memecah, tapi memperkaya. Kini kita punya satu bangsa, satu bahasa, bahkan satu pesantren, namun kadang lebih sering bertikai daripada bekerjasama. Apakah kita lupa bahwa umat ini ibarat satu tubuh? Jika satu anggota sakit, yang lain seharusnya ikut merasakan.

Bangkitnya umat bukan soal strategi semata, tapi soal hati. Hati yang ikhlas, hati yang lapang, hati yang siap memaafkan. Ketika hati-hati ini kembali bersih dan saling mendekat, pertolongan Allah akan datang dengan cara yang tak disangka. Umat yang saling mendoakan, bukan menjelekkan, akan melahirkan generasi penuh rahmat. Dan saat itulah umat ini akan kembali menemukan jalannya: menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Saudaraku, mari kita renungkan: jika bukan kita yang menjaga ukhuwah, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi? Jangan tunggu sampai kehancuran datang dan kita hanya bisa menyesal. Saatnya kembali merapatkan barisan, mengikhlaskan perbedaan, dan menjadikan cinta kepada Allah sebagai perekat sejati. Karena musuh terbesar kita bukan di luar sana, tapi ada di hati yang menolak untuk bersatu.[BA]