Gugur Gunung Ku Leuleus Jeujeur: Filosofi Kearifan dalam Kelembutan


PELITA MAJALENGKA
- "Gugur gunung" dalam budaya Sunda adalah lambang gotong royong, kerja bersama demi kemaslahatan. Ini bukan sekadar kegiatan fisik membangun jalan atau rumah, melainkan juga mencerminkan kebersamaan, semangat kolektif, dan cinta terhadap lingkungan sosial. 

Namun ketika disandingkan dengan frasa "ku leuleus jeujeur" – yang berarti dengan lemah lembut, penuh ketulusan dan kesabaran – muncul makna yang jauh lebih dalam. Kita diajak bukan hanya bergotong royong, tapi melakukannya dengan hati yang halus, tanpa ego, tanpa pamrih.

Dalam dunia yang makin keras dan individualistik, nilai-nilai ini mulai luntur. Gugur gunung ku leuleus jeujeur menjadi seruan sunyi yang menggugah nurani: mari membangun bukan dengan otot semata, tapi juga dengan empati. 

Bahwa membantu sesama tidak cukup hanya hadir secara fisik, tapi juga hadir secara batin – memahami, merasakan, dan tidak merasa paling berjasa. Kita diajak untuk tidak mengangkat batu dengan kemarahan, tapi dengan kasih sayang.

Filosofi ini relevan dalam semua aspek kehidupan – rumah tangga, pendidikan, organisasi, bahkan bangsa. Seringkali kita terlalu fokus pada hasil, pada proyek yang selesai, target yang tercapai. Tapi lupa bahwa cara kita bekerja sama, cara kita berinteraksi, juga membentuk peradaban. 

Gugur gunung ku leuleus jeujeur mengajarkan bahwa keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari apa yang selesai, tetapi juga dari bagaimana hati-hati kita saling terhubung dalam prosesnya.

Bayangkan jika semua orang bekerja sama dengan leuleus jeujeur – tidak saling menyalahkan, tidak mengeluh, tidak pamer. Dunia ini akan jauh lebih tenang, lebih bersih dari dendam dan kesombongan. 

Bukankah Islam pun mengajarkan ihsan – berbuat baik dengan sepenuh hati, seolah melihat Allah? Di sinilah nilai lokal bersatu dengan nilai spiritual universal: kerja bersama yang berakar dari cinta dan kelembutan adalah ibadah yang paling hakiki.

Akhirnya, "gugur gunung ku leuleus jeujeur" bukan hanya slogan, tapi sikap hidup. Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bukan pada otot, tapi pada kelembutan jiwa yang teguh. 

Mari kita bangun dunia, satu kebaikan kecil setiap hari, dengan hati yang ringan, niat yang jernih, dan sikap yang rendah hati. Sebab dari situlah lahir kekuatan besar yang mampu mengubah dunia.[BA]