PELITA MAJALENGKA - Di balik senyum yang tersungging setiap pagi, ada guru yang memendam lelah dalam diam. Ia menyapa ramah, menyuntikkan semangat kepada murid-muridnya, seolah tak ada beban yang membebat pundaknya.
Padahal, sepulang dari kelas, ia masih harus bergulat dengan tumpukan tugas, rencana pembelajaran, hingga kekhawatiran tentang murid yang kesulitan memahami pelajaran. Guru bukan hanya pengajar; ia adalah pengasuh, motivator, fasilitator, bahkan seringkali menjadi orang tua kedua.
Namun, apakah kita pernah benar-benar mendengarkan suara hati mereka?
Guru adalah sosok yang memilih untuk memberi, meski sering kali tak banyak menerima. Dalam sistem yang menuntut mereka untuk terus berinovasi, menyesuaikan kurikulum, mengikuti pelatihan, hingga menjadi pelayan administrasi, mereka kadang kehilangan waktu untuk diri sendiri.
Bahkan tak jarang, seorang guru harus menggunakan uang pribadinya untuk membeli spidol, kertas, atau akses internet demi kelancaran pembelajaran. Tapi mereka tetap tersenyum, karena bagi mereka, keberhasilan murid adalah hadiah terindah.
Tak sedikit guru di pelosok negeri yang harus menempuh medan sulit setiap hari demi mengajar. Ada yang menyeberangi sungai, menapaki bukit, bahkan menyusuri hutan demi sampai ke sekolah. Sementara di sisi lain, mereka tetap dituntut menghasilkan siswa berprestasi dalam segala aspek.
Beban ini menjadi semakin berat ketika penghargaan terhadap profesi guru kian tergerus oleh sistem yang lebih banyak menilai dari hasil, bukan proses perjuangan.
Sungguh, lelah mereka sering tak nampak. Tak ada yang tahu betapa malam-malam mereka habis untuk memeriksa tugas siswa. Tak ada yang peduli ketika mereka menahan air mata karena murid yang mereka perjuangkan justru meremehkan nilai pelajaran.
Bahkan tak jarang mereka harus menjadi tempat curhat murid yang tak didengar orang tuanya di rumah. Semua itu mereka lakoni tanpa pamrih, hanya karena mereka yakin: pendidikan adalah jalan perubahan.
Sudah saatnya kita membangun kesadaran bersama. Guru bukan superman. Mereka butuh didengar, dihargai, dan disokong. Bukan hanya saat Hari Guru Nasional, tetapi setiap hari.
Sudah saatnya kita tidak lagi membiarkan guru berjuang sendirian dalam sistem yang kurang berpihak pada kesejahteraan dan kemanusiaan mereka. Pendidikan yang kuat hanya bisa berdiri di atas guru yang berdaya, dihormati, dan dimanusiakan.
Mari mulai dengan mendengar. Tanyakan pada mereka, “Apa yang bisa kami bantu?” Sediakan ruang untuk suara-suara mereka mengalir, tanpa takut dihakimi.
Beri mereka waktu istirahat yang layak, anggaran pendidikan yang adil, dan kebijakan yang berpihak pada mutu serta kesejahteraan mereka. Mari kita bantu mereka menjaga semangatnya, karena di tangan merekalah masa depan negeri ini dibentuk.
Jika selama ini kita hanya menilai guru dari angka kelulusan atau prestasi akademik, maka kita telah gagal melihat sisi kemanusiaan mereka. Guru bukan hanya mesin penghasil nilai. Mereka adalah jiwa-jiwa penggerak perubahan yang sejati.
Mereka menanam nilai, membentuk karakter, dan membangkitkan harapan pada generasi yang akan datang. Dan semua itu mereka lakukan dengan cinta, meski kadang tanpa apresiasi.
Sudah terlalu lama mereka menanggung beban dalam senyap. Kini saatnya kita mengubah paradigma. Hormati guru bukan sekadar dengan kata, tapi dengan sikap nyata. Ketika kita mendengarkan mereka, kita bukan hanya memberi mereka ruang bernapas, tetapi juga menguatkan fondasi peradaban.
Karena sejatinya, di balik senyum guru, ada peluh dan doa yang tak pernah terucap. Mari kita dengar mereka. Mari kita peduli. Sebab tanpa guru, kita takkan menjadi apa-apa.[BA[