Di
atas kertas, prestasi akademik meningkat. Nilai-nilai bagus menghiasi rapor dan
piagam penghargaan menumpuk di dinding. Tapi nilai moral tergerus, akhlak
memudar, dan kejujuran menjadi barang langka. Banyak sekolah kini hanya sibuk
mencetak otak yang cerdas, bukan hati yang bersih. Mereka mengajarkan
rumus-rumus, tapi lupa menanamkan rasa takut kepada Allah. Mereka menyiapkan
anak untuk menghadapi ujian nasional, tapi tidak menyiapkannya menghadapi ujian
kehidupan.
Betapa
sering kita mendengar kabar pelajar yang terlibat tawuran, perundungan, bahkan
kasus asusila. Bukan karena mereka tak punya ilmu, tapi karena ilmu itu
kehilangan ruhnya. Guru-guru mengajar dengan target kurikulum, bukan dengan
panggilan hati. Siswa belajar demi nilai, bukan demi keberkahan. Maka lahirlah
generasi yang pintar menipu, cerdas menyalahi aturan, dan terampil
berpura-pura. Ilmu yang seharusnya menerangi, justru berubah menjadi bara yang
membakar.
Sekolah
yang seharusnya menjadi taman akhlak, kini berubah menjadi arena kompetisi ego.
Anak dididik untuk menjadi juara, bukan menjadi manusia. Orang tua berlomba
memasukkan anaknya ke sekolah favorit, tapi lupa menanyakan: “Apakah anakku
belajar takut kepada Allah?” Pendidikan yang kehilangan Tuhan akan melahirkan
generasi yang kehilangan arah. Mereka pandai berbicara tentang kesuksesan
dunia, tapi buta tentang hakikat hidup.
Pendidikan
sejatinya bukan sekadar transfer pengetahuan, tapi proses penyucian jiwa.
Rasulullah ﷺ diutus bukan hanya untuk
mengajarkan ilmu, tetapi untuk membersihkan
hati manusia. Allah berfirman dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 2 bahwa Nabi
diutus untuk “membacakan ayat-ayat-Nya,
menyucikan mereka, dan mengajarkan kitab serta hikmah.” Artinya, inti
pendidikan adalah tazkiyah—penyucian
diri. Jika sekolah melupakan aspek ini, maka hilanglah ruhnya.
Hari
ini, kita melihat sekolah yang sibuk membanggakan ranking dan akreditasi, tapi
jarang membicarakan akhlak dan adab. Guru dihormati bukan karena
keteladanannya, melainkan karena jabatan dan statusnya. Anak-anak lebih takut
pada nilai merah di rapor daripada dosa di hati. Pendidikan seperti ini hanya
akan melahirkan generasi “bergelar tinggi, tapi rendah hati hilang.”
Sekolah
yang kehilangan ruh ibarat jasad tanpa nyawa. Ia berjalan, tapi tak hidup. Ia
berbicara, tapi tak bermakna. Ilmu yang diajarkan hanya berhenti di kepala, tak
pernah menyentuh dada. Padahal, keberhasilan sejati pendidikan adalah ketika
ilmu menumbuhkan iman, dan pengetahuan melahirkan kebaikan.
Kini,
sudah saatnya kita bertanya: Untuk apa
sekolah berdiri, jika yang tumbuh hanya kecerdasan, bukan kebijaksanaan?
Untuk apa kita bangga dengan lulusan yang masuk universitas ternama, tapi tak
mengenal Tuhannya? Pendidikan tanpa ruh adalah kekosongan yang menipu. Ia
tampak hidup, padahal mati perlahan.
Kita
harus berani mengembalikan ruh itu. Ruh yang membuat sekolah menjadi tempat
yang menyucikan jiwa, menumbuhkan akhlak, dan menyalakan iman. Ruh yang membuat
guru menjadi teladan, bukan sekadar pengajar. Ruh yang membuat ilmu kembali berpadu
dengan amal, dan pengetahuan menjadi jalan menuju surga.
Karena sejatinya, sekolah bukanlah tempat
mencetak manusia yang sekadar bisa bekerja, tapi tempat menumbuhkan manusia
yang bisa beribadah. Jika ruh itu hidup kembali, maka gedung-gedung sekolah tak
hanya megah di mata, tapi bercahaya di langit. Sebab di sana, bukan hanya ilmu
yang diajarkan, tapi juga nurani yang disucikan.[]
