Saat Sekolah Kehilangan Ruh

 

PELITA MAJALENGKA - SEKOLAH-sekolah hari ini berdiri megah. Catnya berkilau, ruangannya ber-AC, dan fasilitasnya canggih. Tetapi di balik dinding yang gagah itu, ada sesuatu yang hilang—ruh pendidikan yang sejati. Anak-anak datang setiap pagi dengan seragam rapi, tapi banyak yang pulang tanpa membawa cahaya di dalam hati. Mereka bisa menghitung integral, tapi tak peka pada derita orang lain. Mereka bisa menjawab soal ujian dengan tepat, tapi gagal menjawab panggilan nurani. Inilah tragedi pendidikan modern: ketika sekolah menjadi “pabrik” kebobrokan akhlak.

Di atas kertas, prestasi akademik meningkat. Nilai-nilai bagus menghiasi rapor dan piagam penghargaan menumpuk di dinding. Tapi nilai moral tergerus, akhlak memudar, dan kejujuran menjadi barang langka. Banyak sekolah kini hanya sibuk mencetak otak yang cerdas, bukan hati yang bersih. Mereka mengajarkan rumus-rumus, tapi lupa menanamkan rasa takut kepada Allah. Mereka menyiapkan anak untuk menghadapi ujian nasional, tapi tidak menyiapkannya menghadapi ujian kehidupan.

Betapa sering kita mendengar kabar pelajar yang terlibat tawuran, perundungan, bahkan kasus asusila. Bukan karena mereka tak punya ilmu, tapi karena ilmu itu kehilangan ruhnya. Guru-guru mengajar dengan target kurikulum, bukan dengan panggilan hati. Siswa belajar demi nilai, bukan demi keberkahan. Maka lahirlah generasi yang pintar menipu, cerdas menyalahi aturan, dan terampil berpura-pura. Ilmu yang seharusnya menerangi, justru berubah menjadi bara yang membakar.

Sekolah yang seharusnya menjadi taman akhlak, kini berubah menjadi arena kompetisi ego. Anak dididik untuk menjadi juara, bukan menjadi manusia. Orang tua berlomba memasukkan anaknya ke sekolah favorit, tapi lupa menanyakan: “Apakah anakku belajar takut kepada Allah?” Pendidikan yang kehilangan Tuhan akan melahirkan generasi yang kehilangan arah. Mereka pandai berbicara tentang kesuksesan dunia, tapi buta tentang hakikat hidup.

Pendidikan sejatinya bukan sekadar transfer pengetahuan, tapi proses penyucian jiwa. Rasulullah diutus bukan hanya untuk mengajarkan ilmu, tetapi untuk membersihkan hati manusia. Allah berfirman dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 2 bahwa Nabi diutus untuk “membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kitab serta hikmah.” Artinya, inti pendidikan adalah tazkiyah—penyucian diri. Jika sekolah melupakan aspek ini, maka hilanglah ruhnya.

Hari ini, kita melihat sekolah yang sibuk membanggakan ranking dan akreditasi, tapi jarang membicarakan akhlak dan adab. Guru dihormati bukan karena keteladanannya, melainkan karena jabatan dan statusnya. Anak-anak lebih takut pada nilai merah di rapor daripada dosa di hati. Pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan generasi “bergelar tinggi, tapi rendah hati hilang.”

Sekolah yang kehilangan ruh ibarat jasad tanpa nyawa. Ia berjalan, tapi tak hidup. Ia berbicara, tapi tak bermakna. Ilmu yang diajarkan hanya berhenti di kepala, tak pernah menyentuh dada. Padahal, keberhasilan sejati pendidikan adalah ketika ilmu menumbuhkan iman, dan pengetahuan melahirkan kebaikan.

Kini, sudah saatnya kita bertanya: Untuk apa sekolah berdiri, jika yang tumbuh hanya kecerdasan, bukan kebijaksanaan? Untuk apa kita bangga dengan lulusan yang masuk universitas ternama, tapi tak mengenal Tuhannya? Pendidikan tanpa ruh adalah kekosongan yang menipu. Ia tampak hidup, padahal mati perlahan.

Kita harus berani mengembalikan ruh itu. Ruh yang membuat sekolah menjadi tempat yang menyucikan jiwa, menumbuhkan akhlak, dan menyalakan iman. Ruh yang membuat guru menjadi teladan, bukan sekadar pengajar. Ruh yang membuat ilmu kembali berpadu dengan amal, dan pengetahuan menjadi jalan menuju surga.

Karena sejatinya, sekolah bukanlah tempat mencetak manusia yang sekadar bisa bekerja, tapi tempat menumbuhkan manusia yang bisa beribadah. Jika ruh itu hidup kembali, maka gedung-gedung sekolah tak hanya megah di mata, tapi bercahaya di langit. Sebab di sana, bukan hanya ilmu yang diajarkan, tapi juga nurani yang disucikan.[]