Dari Cakrabuana untuk Indonesia dan Palestina: Santri Qur’ani Kibarkan Doa di Puncak Sejarah

Santri Tahfidz Qur'an AGA NB kibarkan bendera Merah Putih dan Palestina di puncak Gunung Cakra (foto: Firman)

PELITA MAJALENGKASubuh yang dingin dan hening di Mekarwangi, Majalengka, menjadi awal perjalanan penuh makna. Usai shalat berjamaah, para santri tahfidz Qur’an dari Akademi Guru Al-Qur’an (AGA) Nurul Bayan berangkat menuju kaki Gunung Cakrabuana. Bukan sekadar mendaki, langkah mereka membawa misi: mengibarkan bendera Merah Putih dan Palestina sebagai simbol cinta tanah air dan solidaritas umat pada HUT RI ke-80.

Gunung Cakrabuana, yang dahulu menjadi saksi sejarah konflik dan perjuangan, kini kembali menyimpan kisah baru. Dari hutan rimba dan medan terjal yang dulu bergema suara pertempuran, hari ini ia menyaksikan dzikir, doa, dan lantunan ayat suci yang menghiasi perjalanan para penjaga Al-Qur’an.

Setiap tapak langkah mereka adalah doa. Nafas yang terengah bercampur dengan bacaan Qur’an yang mengalir dari hati. Perjalanan menanjak menjadi lebih ringan karena disertai kalimatullah. Mereka bukan sekadar mendaki gunung, tetapi menapaki jalan spiritual menuju puncak kesadaran.

Ketika tiba di puncak, udara segar menerpa wajah, seakan memberi salam selamat datang. Di atas awan yang bergulung, para santri menegakkan bendera Merah Putih. Simbol perjuangan para pahlawan itu kini dikibarkan dengan semangat iman dan ilmu. Sebuah pesan jelas: kemerdekaan harus dijaga bukan hanya dengan senjata, tetapi dengan akhlak, ilmu, dan doa.

Di sampingnya, bendera Palestina berkibar. Dua bendera itu beriringan dalam hembusan angin gunung, melambangkan persaudaraan yang tak terpisahkan. Kemerdekaan Indonesia adalah anugerah yang telah dirasakan, sedangkan kemerdekaan Palestina adalah doa yang terus dipanjatkan.

Tangis haru tak terbendung. Beberapa santri menitikkan air mata. Mereka sadar, bukan sekadar meraih puncak gunung, tetapi menorehkan jejak sejarah baru. Gunung Cakrabuana menjadi saksi bahwa cinta tanah air dan cinta sesama umat Islam tetap menyala, tak lekang oleh zaman.

Di puncak itu mereka berdoa. Untuk Indonesia, agar tetap kokoh dalam persatuan, diliputi keberkahan, dan dijaga dari perpecahan. Untuk Palestina, agar segera terbebas dari penjajahan, meraih hak kemerdekaan sebagaimana Indonesia pernah merasakannya.

Pendakian ini lebih dari sekadar ekspedisi fisik. Ia adalah perjalanan ruhani. Dari kaki hingga puncak gunung, para santri belajar makna sabar, ukhuwah, dan pengorbanan. Mereka memahami bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari kemalasan, kebodohan, dan kelalaian terhadap Allah.

Gunung yang dahulu menjadi basis perjuangan bersenjata kini menjadi simbol perjuangan ilmu. Dengan lantunan Qur’an, para santri Nurul Bayan menegaskan bahwa generasi hari ini melanjutkan perjuangan lewat ilmu, dakwah, dan kontribusi nyata.

Saat turun dari puncak, hati mereka dipenuhi rasa syukur. Mereka pulang membawa lebih dari sekadar kenangan: sebuah tekad baru untuk menjaga Indonesia tetap merdeka dengan iman, serta mendukung Palestina dengan doa dan solidaritas.

Gunung Cakrabuana: Jejak Perjuangan, Saksi Sejarah

Gunung Cakrabuana—lebih akrab disebut Gunung Cakra—menjulang setinggi 1.700 mdpl, membentang di antara Majalengka, Garut, dan Tasikmalaya. Selain menawarkan panorama hutan tropis dan udara sejuk, gunung ini menyimpan jejak sejarah yang panjang dan berdarah.

Pada masa lalu, Cakrabuana menjadi salah satu basis pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah Kartosuwiryo. Medannya yang sulit dijangkau menjadikannya benteng kokoh yang memaksa pemerintah mengerahkan operasi besar, termasuk Operasi Pagar Betis yang melibatkan rakyat.

Tak hanya itu, kawasan ini juga menjadi jalur penting Long March Divisi Siliwangi menuju Yogyakarta dan kepulangan mereka ke Jawa Barat. Banyak prajurit gugur di sini, meninggalkan kisah pengorbanan yang tak boleh dilupakan.

Kini, Cakrabuana bukan lagi arena pertempuran. Ia menjelma menjadi tempat perenungan, persinggahan pendaki, dan destinasi wisata alam yang mempesona. Gunung ini mengajarkan satu hal: bahwa sejarah perjuangan harus diteruskan, bukan dengan peluru, tetapi dengan ilmu, doa, dan cinta yang tak pernah padam.

Hari ini, jejak langkah santri Qur’ani menambahkan lembaran baru dalam buku sejarah panjang Gunung Cakrabuana. Dari darah dan air mata, kini berpadu dengan lantunan doa dan bendera yang berkibar—untuk Indonesia, untuk Palestina, dan untuk kemanusiaan.[BA]