Lidah Tak Bertulang, Tapi Bisa Menusuk Hati: Jaga Ucapan Sebelum Terlambat


PELITA MAJALENGKA - 
Lidah memang tak bertulang, namun daya rusaknya bisa lebih tajam daripada pedang. Satu kalimat yang terucap tanpa pikir panjang, bisa merobek hati seseorang hingga tak bisa sembuh dalam waktu dekat. 

Banyak luka batin yang tak berdarah, tapi menganga karena ucapan yang menyakitkan. Betapa banyak hubungan rusak, saudara menjauh, dan sahabat menjelma musuh karena tak pandai menjaga lisan.

Islam sangat menekankan pentingnya menjaga ucapan, sebab lisan bisa menjadi penyebab seseorang celaka di dunia dan di akhirat. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Tentu sabda Nabi SAW di atas bukan sekadar nasihat, tapi peringatan serius dari Rasul agar kita berpikir sebelum berbicara. Sebab, kata-kata tak bisa ditarik kembali, dan luka karena lisan seringkali lebih parah dari luka fisik.

Terkadang kita merasa bebas bicara, seolah mulut adalah milik pribadi yang tak akan ditagih pertanggungjawaban. Padahal setiap huruf yang keluar, kelak akan dihisab di hadapan Allah Azza wa Jalla. Allah berfirman, “Tiada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18). Maka, hati-hatilah, karena mulut kita sedang dicatat siang dan malam tanpa henti.

Berapa banyak kita melukai perasaan orang tua dengan ucapan ketus dan tak sopan? Berapa kali kita mengabaikan perasaan pasangan dengan kalimat yang menyepelekan? Dan tak terhitung sudah, betapa sering kita membicarakan orang lain tanpa hak, menyebar ghibah dan fitnah dengan dalih "hanya bercerita". Lisan ini ringan bergerak, tapi akibatnya bisa berat ditanggung seumur hidup—bahkan hingga ke akhirat.

Sebagian orang merasa bangga karena bisa bicara lantang dan menyindir tajam, padahal yang dibutuhkan bukan keberanian melukai, tapi kebijaksanaan untuk meredam. Bukankah Rasulullah ﷺ dikenal bukan karena lisannya tajam, melainkan karena tutur katanya menyejukkan dan menghidupkan hati? Ucapan yang baik bisa jadi sedekah, tapi ucapan yang buruk bisa jadi dosa berantai. Jangan sampai kita ringan berkata, lalu menyesal seumur hidup karena tak bisa menariknya kembali.

Kadang satu kalimat dari kita bisa menghancurkan semangat orang yang sedang berjuang. Bisa jadi seseorang yang kita sindir adalah orang yang sedang bertahan di ujung luka, dan ucapan kita menjadi peluru terakhir yang menjatuhkannya. Maka berpikirlah sebelum bicara, timbanglah sebelum berujar. Jangan sampai lisan kita menjadi sebab runtuhnya harapan orang lain yang sedang berusaha bangkit.

Jika tak bisa memberi semangat, setidaknya jangan menambah luka. Jika tak mampu menguatkan, cukup dengan diam yang menyelamatkan. Diam itu bukan kelemahan, tapi tanda bahwa hati sedang bekerja menakar mana yang pantas diucapkan. Dalam diam, kita belajar bahwa tidak semua hal harus dikomentari, tidak semua keadaan butuh celoteh kita.

Jangan terlalu bangga bisa mengkritik, jika kita belum mampu menginspirasi. Jangan terlalu sering menilai orang lain, jika diri sendiri masih penuh cela. Islam mengajarkan kita untuk menjaga lisan sebagai bagian dari akhlak mulia. Karena seringkali, lisanlah yang membuat pahala hangus dan hubungan hancur.

Setiap kata adalah anak panah; jika diarahkan dengan baik, bisa menyelamatkan banyak jiwa. Tapi jika dilepaskan tanpa kontrol, ia bisa melukai siapa saja—termasuk diri sendiri. Maka jadikan lisanmu sumber kebaikan, bukan alat penghancur sesama. Sebab Allah mencintai hamba yang menjaga lisannya seperti menjaga emas yang paling berharga.

Mari kita benahi cara kita berbicara. Jangan tunggu hingga orang lain menjauh, baru sadar bahwa kata-kata kita menyakitkan. Jangan sampai kehilangan yang berharga, hanya karena ucapan yang tak terjaga. Kita tak pernah tahu, ucapan mana yang membuat seseorang menangis dalam sujudnya karena terluka oleh kita.

Hari ini, mari kita pilih kata-kata dengan hati. Biarlah lisan ini menjadi jalan syukur, bukan sebab celaka. Biarlah ia menjadi alat penyambung ukhuwah, bukan pemutus silaturahmi. Dan semoga setiap huruf yang kita ucapkan, menjadi saksi di akhirat bahwa kita pernah belajar menjaga lisan demi ridha Allah.[BA]