Majalengka bukan sekadar nama kabupaten di Jawa Barat, ia adalah tanah yang menyimpan potensi luar biasa, baik sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya. Namun potensi itu tidak akan pernah menjadi kekuatan nyata jika tidak dibingkai dalam etika sosial yang kokoh.
Di sinilah panggilan suci bagi dua komponen penting masyarakat—ulama dan umara—untuk bersinergi dalam membangun peradaban. Bukan hanya peradaban fisik, tapi peradaban adab, akhlak, dan moralitas. Saat ulama memegang obor petunjuk dan umara menggenggam kekuatan kebijakan, maka keduanya harus berjalan seiring untuk menata ulang etika sosial masyarakat Majalengka.
Ulama dan Umara: Dua Pilar, Satu Visi
Dalam sejarah Islam, kemajuan masyarakat selalu dimulai dari sinergi antara ulama dan umara. Lihatlah pada era Umar bin Khattab yang selalu berdiskusi dengan para ulama seperti Ubay bin Ka’ab, atau masa kejayaan Dinasti Abbasiyah yang menempatkan ulama sebagai penasihat utama khalifah. Di Majalengka hari ini, model itu harus kita hidupkan kembali.
Ulama tanpa dukungan umara hanya akan menjadi suara lantang di mimbar tanpa daya gerak. Sebaliknya, umara tanpa panduan ulama akan menjadi penguasa yang kehilangan arah moral. Jika dua kekuatan ini bersatu, Majalengka tidak hanya akan maju secara ekonomi dan infrastruktur, tapi juga akan menjadi teladan etika sosial di tingkat nasional.
Etika Sosial: Akar dari Perubahan Besar
Etika sosial adalah tata nilai yang membentuk perilaku kolektif masyarakat. Ia mencakup kejujuran, gotong royong, saling menghargai, tanggung jawab, dan kepedulian sosial. Etika inilah yang menjadi fondasi peradaban. Jika masyarakat kita kehilangan etika sosial, maka kebijakan sehebat apa pun akan gagal membentuk karakter warga.
Majalengka butuh etika sosial baru, bukan karena kita tak punya nilai, tapi karena nilai itu mulai pudar dalam arus zaman. Inilah momentum bagi ulama dan umara untuk menabur kembali benih-benih akhlak, menyiramnya dengan keteladanan, dan memanen masyarakat yang beradab.
Kiat-Kiat Sederhana Namun Jitu untuk Mewujudkan Sinergi dan Etika Sosial
Berikut ini adalah langkah-langkah sederhana, namun luar biasa manjur jika dijalankan dengan kesungguhan:
1. Majelis Silaturahmi Ulama-Umara Rutin Bulanan
Bentuklah forum bulanan di setiap kecamatan dan kabupaten, tempat ulama dan umara duduk sejajar, saling mendengar, merumuskan solusi dari permasalahan sosial masyarakat. Bukan forum seremonial, tapi ruang produktif penuh gagasan.
“Sering bertemu, saling mendengar, saling menasihati. Di situlah benih sinergi tumbuh.”
2. Gerakan Jumat Etika Sosial
Libatkan para khatib di seluruh masjid untuk mengangkat tema etika sosial setiap hari Jumat. Bahas soal kejujuran dalam bisnis, etika lalu lintas, tanggung jawab sebagai tetangga, atau pentingnya menghormati perbedaan. Jika dari mimbar masjid keluar suara yang sama, maka akan terbentuk gelombang moral yang kuat.
3. Keteladanan di Lapangan, Bukan Hanya di Pidato
Umara harus menjadi contoh dalam pelayanan publik yang jujur, adil, dan rendah hati. Ulama pun harus turun tangan di tengah masyarakat, menjadi teladan akhlak dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam ceramah.
“Majalengka tidak butuh pidato megah, tapi aksi nyata dari orang-orang yang diteladani.”
4. Satu Kampung Satu Etika Unggulan
Dorong setiap desa atau kampung untuk memiliki satu program unggulan etika sosial. Misalnya: Kampung Bebas Hoaks, Kampung Anti Korupsi, Kampung Santun Berkendara, Kampung Saling Menolong. Jika setiap desa punya etika unggulan, maka kabupaten ini akan menjadi samudra moralitas yang menginspirasi.
5. Mendirikan Madrasah Etika Sosial di Setiap Masjid
Buat program mingguan di masjid yang mengajarkan etika sosial berdasarkan nilai-nilai Qur’an dan Hadis. Bukan sekadar fikih, tapi tentang bagaimana bersikap dalam keluarga, masyarakat, dan ruang publik. Madrasah ini bisa digerakkan oleh takmir dan para guru ngaji dengan dukungan pemerintah desa atau kecamatan.
6. Pemberian Apresiasi Tahunan bagi Ulama dan Umara Teladan
Berikan penghargaan kepada mereka yang menjadi teladan dalam sinergi dan etika sosial. Tidak hanya untuk pejabat tinggi, tapi juga untuk lurah, kepala desa, dan ustadz kampung. Penghargaan ini akan menjadi motivasi bagi yang lain untuk bergerak dalam kebaikan.
7. Menghidupkan Kembali Kearifan Lokal Majalengka
Nilai-nilai seperti silih asih, silih asah, dan silih asuh adalah mutiara dari budaya Sunda yang harus diangkat kembali. Ulama dan umara bisa memanfaatkan kearifan lokal ini untuk membingkai dakwah dan kebijakan sosial.
Saatnya Bangkit: Jangan Tunggu Kesempurnaan, Mulailah dari Langkah Kecil
Kita tidak butuh rencana megah untuk memulai. Yang kita butuhkan adalah kemauan yang kuat untuk berubah. Mulai dari forum kecil, khutbah sederhana, keteladanan di meja pelayanan, dan aksi nyata di tengah masyarakat. Jangan tunggu sempurna untuk memulai. Karena perubahan tidak menunggu kesiapan kita.
“Jangan tanyakan siapa yang akan memulai. Jadilah pemula yang menyalakan cahaya.”
Majalengka, Menuju Kabupaten dengan Etika Sosial Tertinggi
Majalengka punya potensi menjadi kabupaten paling beretika di Indonesia. Tapi itu tidak akan terjadi jika ulama dan umara berjalan sendiri-sendiri. Mari rapatkan barisan, sinergikan langkah, dan hidupkan kembali semangat membangun masyarakat dengan akhlak dan keteladanan. Karena sejatinya, membangun jalan, gedung, dan ekonomi itu penting—tapi membangun hati, akhlak, dan budaya saling menghormati adalah investasi abadi.
Wahai Ulama, Wahai Umara!
Mari kita bangun Majalengka bukan hanya dengan tangan, tapi juga dengan hati, nurani, dan akhlak.
Langit Majalengka menanti sinar perubahan. Maukah kita menyalakannya bersama?[]
*Pemerhati masalah sosial agama