DALAM jagat nilai-nilai kearifan lokal Sunda, ungkapan "Saeutik kudu mahi, loba kudu nyesa" merupakan pepatah yang sarat makna. Secara harfiah, pepatah ini berarti: sedikit harus cukup, banyak harus bersisa. Di balik kalimat sederhana ini tersembunyi filosofi hidup yang mendalam tentang kecukupan, pengendalian diri, dan perencanaan masa depan.
Orang Sunda sejak dulu hidup berdampingan dengan alam. Mereka belajar dari sungai, hutan, dan ladang bahwa hidup bukan soal memiliki segalanya, melainkan soal mampu mencukupi kebutuhan dari apa yang ada. Pepatah "saeutik kudu mahi" mencerminkan nilai kesederhanaan dan rasa cukup (narima) atas rezeki yang sedikit, tanpa mengeluh atau menyalahkan takdir. Ini bukan sikap pasrah, melainkan bentuk dari optimisme dan kepercayaan bahwa kehidupan punya cara tersendiri untuk tetap berjalan.
Sementara itu, bagian kedua dari pepatah ini, "loba kudu nyesa", mengajarkan pentingnya manajemen dan pengelolaan dalam kelimpahan. Ketika seseorang diberi kelebihan, tidak seharusnya semua itu dihabiskan. Ada prinsip bahwa kelimpahan bukan untuk dihambur-hamburkan, tetapi disimpan, ditabung, atau dibagikan untuk kebaikan yang lebih luas. Dalam budaya Sunda, orang yang bisa menyisihkan dalam kelimpahan akan disegani, karena ia mampu mengendalikan hawa nafsunya dan berpikir jauh ke depan.
Falsafah ini bisa diterapkan dalam banyak aspek kehidupan modern. Dalam konteks ekonomi keluarga, pepatah ini mengajarkan agar pengeluaran tidak melebihi pemasukan. Saat penghasilan kecil, upayakan mencukupi kebutuhan pokok. Saat penghasilan besar, jangan boros, sisihkan untuk masa depan. Falsafah ini sejatinya sudah berbicara tentang konsep sustainability dan financial literacy jauh sebelum istilah-istilah tersebut dikenal luas.
Dalam hal relasi sosial, "saeutik kudu mahi" juga bisa dimaknai sebagai ajakan untuk bersyukur atas sedikit perhatian, cinta, atau bantuan yang kita terima dari orang lain. Kita diajak untuk tidak menuntut berlebihan. Sebaliknya, "loba kudu nyesa" mengajarkan kita untuk tidak menghabiskan semua energi dan waktu untuk orang lain tanpa menyisakan ruang untuk diri sendiri dan keluarga. Ada keseimbangan antara memberi dan menjaga.
Dalam kehidupan spiritual, pepatah ini menjadi pengingat bahwa ibadah dan amal baik tidak selalu harus dalam bentuk besar. Sedikit amal yang dilakukan dengan ikhlas dan konsisten lebih bermakna daripada banyak amal yang penuh riya dan tidak tulus. Dalam keilmuan pun, sedikit ilmu yang diamalkan lebih bernilai daripada banyak pengetahuan yang tidak membentuk karakter.
Orang Sunda percaya bahwa hidup bukan hanya untuk hari ini. Ada esok yang perlu dipikirkan, ada generasi yang perlu diwarisi nilai. Maka filosofi "loba kudu nyesa" menjadi bentuk tanggung jawab antar generasi: ketika kita berkelimpahan, kita harus menyisakan untuk anak cucu, untuk lingkungan, dan untuk orang-orang di sekitar.
Pepatah ini juga menjadi kritik halus terhadap gaya hidup konsumtif dan budaya instan yang makin menjamur. Di era sekarang, di mana semua serba cepat dan keinginan dianggap lebih penting dari kebutuhan, falsafah ini hadir sebagai penyeimbang. Ia mengajarkan untuk tidak rakus, untuk mengukur diri, dan untuk bersikap bijak dalam menggunakan segala hal, baik itu waktu, tenaga, uang, maupun emosi.
Dengan demikian, "saeutik kudu mahi, loba kudu nyesa" bukan sekadar ungkapan tradisional. Ia adalah panduan hidup yang relevan sepanjang masa. Ia mengajarkan kita untuk hidup sederhana dalam kekurangan dan bijak dalam kelimpahan. Dalam falsafah ini terkandung harapan agar manusia tidak diperbudak oleh keinginan, melainkan mampu memimpin dirinya sendiri menuju kehidupan yang lebih seimbang, berkah, dan bermartabat.[Ba]