Kumaha Engké, Engké Kumaha


PELITA MAJALENGKA
- Orang Sunda punya cara unik dalam memandang hidup. Salah satunya terlihat dari ungkapan legendaris ini: "Kumaha engké, engké kumaha." Sepintas terdengar seperti lelucon atau bahkan tanda ketidaksiapan menghadapi masa depan. 

Tapi jika direnungkan lebih dalam, filosofi ini menyimpan hikmah yang bijak sekaligus menginspirasi tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap terhadap kehidupan yang penuh ketidakpastian.

Makna Harfiah dan Rasa Budaya

Secara harfiah, "Kumaha engké" berarti "nanti juga akan tahu bagaimana," dan "engké kumaha" artinya "ya nanti kita lihat bagaimana keadaannya." Sekilas seperti pasrah. Tapi bagi masyarakat Sunda, ini bukan semata bentuk keputusasaan atau ketidakpedulian. 

Justru ini adalah wujud dari kearifan lokal yang mengajarkan bahwa tidak semua hal perlu dirisaukan hari ini. Ada waktunya semua akan menemukan bentuknya. Ada masanya jawaban akan datang sendiri.

Dalam budaya Sunda yang menjunjung tinggi keselarasan, ketenangan, dan tidak grusa-grusu (tergesa-gesa), ungkapan ini adalah simbol dari keteduhan hati. Ia mengingatkan kita agar tidak tergesa menilai, tidak tergopoh dalam mengambil keputusan, dan tidak terlalu memaksakan diri pada sesuatu yang belum saatnya.

Antara Tawakal dan Optimisme

Ada garis halus yang menghubungkan “Kumaha engké, engké kumaha” dengan konsep tawakal dalam Islam—yaitu berserah diri setelah berusaha. Orang Sunda bukan berarti tidak bekerja atau merencanakan. 

Mereka tetap berikhtiar dengan sungguh-sungguh, namun saat hasil belum nampak, mereka berkata: “kumaha engké, engké kumaha.” Sebuah kalimat sederhana namun sarat ketenangan spiritual.

Ungkapan ini juga mengajarkan tentang optimisme diam-diam. Optimisme yang tidak gaduh, yang tidak berteriak, tapi meyakini bahwa masa depan akan tetap berjalan sesuai rencana Tuhan. 

Dengan sikap ini, seseorang belajar untuk tidak panik, tidak mudah stres, dan tidak terjebak pada rasa takut berlebihan akan masa depan.

Menenangkan Hati di Tengah Badai

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, filosofi ini terasa seperti oase. Saat semua orang berlomba mengejar pencapaian, menuntut kepastian instan, dan hidup dalam tekanan ekspektasi sosial, ungkapan ini datang sebagai pengingat untuk kembali tenang. 

Tidak semua harus diketahui sekarang. Tidak semua harus selesai hari ini.

Bagi seorang petani Sunda misalnya, saat menanam padi, ia tahu bahwa hasil tidak akan langsung datang. Ia tidak akan gelisah setiap hari menanyakan kapan panen. 

Ia berkata: “kumaha engké.” Saat datang hujan tak terduga, ia tidak merutuk, tapi berkata: “engké kumaha.” Sebuah bentuk kepasrahan aktif yang dipenuhi harapan.

Tidak Menyerah, Tapi Tidak Memaksa

Hal penting yang harus dipahami adalah bahwa “kumaha engké, engké kumaha” bukan alasan untuk bermalas-malasan. Ini bukan dalih untuk tidak merencanakan atau menghindar dari tanggung jawab. 

Justru, ini adalah pelajaran tentang mengendalikan apa yang bisa dikendalikan, dan melepaskan apa yang di luar kuasa kita.

Orang bijak tahu kapan harus bertindak, dan kapan harus menunggu. Filosofi ini adalah seni untuk tidak memaksakan kehendak kepada semesta. Karena bisa jadi, apa yang tampak buruk hari ini, justru menyimpan kebaikan di hari esok—yang hanya bisa dibuka oleh waktu.

Sebuah Refleksi Hidup

Dalam hidup, kita akan sering berada di persimpangan antara rencana dan kenyataan, antara harapan dan kenyataan. Ketika semua terasa tidak pasti, barangkali kita butuh mengulang kata-kata bijak itu: “kumaha engké, engké kumaha.” Ia bukan hanya bahasa, tapi juga doa. Ia bukan sekadar ungkapan, tapi juga filosofi keteguhan hati.

Jadi, saat hidup terasa terlalu berat untuk ditebak, cobalah tarik napas, tersenyum, dan ucapkan: “Kumaha engké, engké kumaha.” Lalu lanjutkan hidup dengan langkah yang ringan, hati yang tenang, dan keyakinan bahwa waktu akan membuka segalanya pada saat yang tepat.[BA]