Kapan Sebenarnya Hidup Kita Bermula?


PELITA MAJALENGKA
- Seringkali kita mengira bahwa hidup kita bermula ketika kita lahir ke dunia. Tangisan pertama di ruang bersalin dianggap sebagai awal perjalanan kehidupan. 

Namun, benarkah itu titik mula hidup kita yang sejati? Ataukah ada awal yang jauh lebih hakiki, lebih mendalam, yang selama ini luput dari kesadaran kita?

Mari kita renungkan. Sebelum kita dilahirkan, kita telah berada dalam rahim ibu, dan sebelumnya lagi, ruh kita telah ditiupkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.'" (Qs. Al-A'raf: 172)

Ayat ini menunjukkan bahwa hidup sejati kita bermula bukan dari kelahiran fisik, tetapi dari perjanjian agung di alam ruh. Saat itu, kita bersaksi bahwa Allah adalah Rabb kita. Maka, sejatinya hidup kita bermula ketika ruh kita mengenal Tuhannya. 

Kelahiran di dunia hanyalah peralihan dari satu fase kehidupan ke fase lainnya. Dari alam ruh ke alam dunia, kemudian ke alam barzakh, dan selanjutnya ke alam akhirat.

Jika kita menyadari bahwa kita pernah bersaksi di hadapan Allah, maka seluruh kehidupan kita seharusnya dibangun di atas kesaksian itu. Namun sayangnya, banyak dari kita yang melupakan awal mula ini. Kita hidup seakan-akan dunia ini segalanya, mengejar materi, popularitas, jabatan, bahkan rela mengorbankan akhirat demi dunia yang fana. 

Padahal, hidup kita yang sebenarnya bukanlah yang terlihat oleh mata, melainkan yang selaras dengan tujuan penciptaan: menyembah Allah, mengabdi kepada-Nya, dan menunaikan amanah sebagai khalifah di bumi.

Muhasabah: Apakah Kita Hidup atau Sekadar Ada?

Jika hidup berarti memiliki tujuan dan arah, maka seseorang yang hidup tanpa tujuan adalah seperti kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing di tengah lautan dunia. Kita perlu bertanya dalam-dalam: Apakah aku benar-benar hidup? Apakah aku sudah memenuhi janji ruhku kepada Allah? Ataukah aku hanya sekadar ada, menjalani rutinitas harian tanpa ruh spiritual?

Allah telah berfirman, "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada (diri) mereka sendiri." (Qs. Al-Hasyr: 19)

Lupa kepada Allah berarti lupa jati diri, lupa misi hidup, dan akhirnya kehilangan arah. Maka, hidup sejati bermula ketika seseorang tersadar dari kelalaiannya, ketika hatinya tergerak untuk kembali kepada Rabb-nya, saat air matanya menetes bukan karena dunia, tetapi karena takut kehilangan ridha-Nya. Itulah awal hidup yang hakiki: ketika kita sadar bahwa dunia ini bukan tujuan, tetapi jalan menuju tujuan.

Hidup Bermula Saat Taubat Dimulai

Banyak orang hidup dalam dosa dan maksiat selama bertahun-tahun, namun ketika Allah memberikan hidayah dan ia menangis dalam sujud taubatnya, saat itulah hidupnya benar-benar dimulai. Dari situlah jalan baru terbuka, cahaya menyinari hati yang sebelumnya gelap. 

Taubat adalah kelahiran kembali. Sebab Allah Maha Pengampun, dan Dia mencintai hamba-Nya yang kembali. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya daripada kegembiraan seseorang yang menemukan kembali kendaraannya yang hilang di padang pasir.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Taubat menandai titik balik, dan setiap titik balik itulah yang bisa menjadi awal sejati kehidupan kita. Maka siapa pun kita—seburuk apa pun masa lalu—selama kita mau kembali, hidup kita bisa dimulai lagi, lebih indah dan bermakna.

Hidup Bermula Saat Kita Menemukan Misi

Hidup juga sejatinya bermula ketika seseorang menemukan misi hidupnya. Saat ia tahu untuk apa ia diciptakan, apa perannya di muka bumi, dan bagaimana ia bisa memberikan manfaat bagi sesama. Misi hidup bukan sekadar cita-cita duniawi, melainkan kesadaran akan kontribusi kita dalam ibadah kepada Allah dan pelayanan terhadap umat.

Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni)

Ketika hidup kita menjadi sumber kebaikan, menjadi cahaya bagi orang lain, menjadi penyejuk di tengah kegelisahan manusia, maka saat itulah hidup kita sungguh telah dimulai.

Penutup: Mari Hidup yang Benar-benar Hidup

Hidup sejati bukan soal usia, bukan soal kekayaan atau ketenaran. Hidup sejati adalah tentang kesadaran, tentang hubungan dengan Allah, tentang pengabdian kepada misi ilahi. Maka, jika selama ini kita hanya hidup secara biologis tanpa ruh spiritual, mari kita mulai hidup kita yang sesungguhnya—hari ini, sekarang juga.

Karena bisa jadi hidup kita baru benar-benar dimulai, saat kita menyadari:
“Aku diciptakan bukan untuk dunia, tapi untuk bertemu Allah.”

Mulailah hidupmu dengan sujud yang jujur, dengan taubat yang tulus, dengan misi yang mulia. Itulah awal yang sejati. Karena hidup bukan hanya tentang ada, tapi tentang kembali—kepada Allah, Rabb kita yang Maha Hidup.[BA]