Kepala Desa: Bukan Raja, Tapi Pelayan Masyarakat

Jabatan kepala desa seringkali dipandang sebagai simbol kekuasaan tertinggi di tingkat desa. Banyak yang menganggap bahwa kepala desa adalah “raja kecil” yang bebas mengatur segalanya, dihormati tanpa syarat, dan memiliki wewenang mutlak atas seluruh kebijakan desa. Padahal, pandangan seperti ini keliru. Kepala desa bukanlah raja, melainkan pelayan masyarakat. Ia bukan tuan atas warganya, melainkan abdi yang diamanahkan untuk bekerja demi kesejahteraan bersama.

Tugas utama kepala desa adalah melayani. Bukan dilayani. Ia ditunjuk atau dipilih bukan agar dihormati, tapi agar mampu mengangkat derajat kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Kepala desa adalah ujung tombak pembangunan, pemegang amanah, dan pelaksana harian dari kehendak rakyat. Jika jabatan itu digunakan untuk memuaskan ambisi pribadi, memperkaya diri, atau membangun dinasti politik, maka ia telah mengkhianati amanah yang diberikan.

Dalam Islam, kepemimpinan adalah beban yang sangat berat. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kalian akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan. Padahal kelak pada hari kiamat, kepemimpinan akan menjadi penyesalan, kecuali bagi orang yang menunaikan kewajibannya dan menunaikan amanahnya.” (HR. Bukhari). Artinya, menjadi kepala desa bukan prestise yang dibanggakan, melainkan ladang amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Kepala desa sejati bukanlah orang yang duduk di kantor sepanjang hari dan menunggu laporan masuk. Ia harus hadir langsung di tengah masyarakat: mengunjungi warga yang sakit, menyapa petani di sawah, mendengarkan keluh kesah pedagang pasar, dan menjadi penengah dalam persoalan sosial. Ia harus merasakan denyut nadi desanya, bukan hanya dari data statistik, tapi dari suara langsung masyarakatnya.

Sayangnya, tidak sedikit kepala desa yang berubah sikap setelah menjabat. Ketika mencalonkan diri, mereka merendah, bersahabat, dan dekat dengan rakyat. Namun setelah terpilih, mereka menjauh, meninggi, bahkan tak segan memperlihatkan kekuasaan. Sebagian bahkan menjadikan jabatan itu sebagai “kursi warisan” untuk anak atau kerabatnya. Ini jelas menyalahi semangat demokrasi dan keadilan.

Rakyat tidak butuh kepala desa yang hebat dalam pidato atau pencitraan. Mereka hanya ingin dipimpin oleh orang yang jujur, tulus, dan benar-benar peduli. Pemimpin yang tidak menjadikan pembangunan sebagai proyek pribadi, melainkan sebagai upaya kolektif untuk meningkatkan taraf hidup semua warganya. Pemimpin yang tidak sibuk menjaga gengsi, tapi fokus melayani dengan hati.

Dalam konteks Indonesia, kepala desa juga adalah ujung tombak pelaksanaan berbagai program nasional. Maka transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama. Anggaran dana desa, misalnya, harus dikelola dengan hati-hati dan jujur. Setiap rupiah yang dibelanjakan harus bisa dipertanggungjawabkan. Karena uang itu adalah milik rakyat, bukan milik pribadi kepala desa atau keluarganya.

Seorang kepala desa yang baik akan meninggalkan warisan kebaikan. Ia mungkin tidak membangun gedung megah, tapi ia hadir dalam doa-doa rakyatnya. Ia mungkin tidak terkenal di media, tapi dikenal sebagai pemimpin yang adil, ramah, dan merakyat. Itulah pemimpin yang dikenang bukan karena jabatannya, tapi karena amal dan ketulusannya.

Menjadi kepala desa adalah kesempatan mulia untuk mengabdi. Tapi hanya jika dijalani dengan hati yang ikhlas, rendah hati, dan berorientasi pada kesejahteraan warga. Bukan demi gengsi, apalagi untuk memperkaya diri.

Kepala desa bukan raja. Ia adalah pelayan masyarakat. Dan pelayan sejati adalah mereka yang senantiasa hadir, bekerja, dan mencintai rakyatnya dengan tulus.[]