Munafik Digital: Tampil Islami di Dunia Maya

PELITA MAJALENGKADi dunia maya, semua orang bisa tampil saleh. Cukup unggah foto dengan latar masjid, tambahkan kutipan ayat, lalu tulis tagar #Hijrah atau #QuranDaily — seketika kita tampak islami. Namun di balik layar, tak sedikit yang sesungguhnya hanya sedang bermain peran. Inilah wajah baru kemunafikan di era digital: munafik digital — tampak religius di media sosial, tapi jauh dari nilai Islam dalam keseharian.

Munafik digital tidak selalu berdusta dengan kata, tapi sering menipu dengan citra. Ia rajin mengunggah nasihat, namun malas mengamalkannya. Ia berkoar tentang ikhlas, tapi hatinya sibuk menghitung “like” dan komentar. Rasulullah ﷺ bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia ingkar, dan bila dipercaya ia berkhianat.” (HR. Bukhari-Muslim). Hari ini, kebohongan itu bisa lahir lewat postingan palsu, janji manis di kolom komentar, dan khianat terhadap nilai agama demi citra diri.

Media sosial seharusnya menjadi ladang dakwah, bukan panggung pencitraan. Tapi banyak yang menjadikan agama sebagai konten, bukan komitmen. Ayat Allah dijadikan dekorasi status, hadis dijadikan hiasan bio, namun hati tetap lalai dari Allah. Betapa mudahnya berkata “Alhamdulillah” di status, tapi betapa sulitnya bersyukur di sajadah.

Lebih menyedihkan lagi, ada yang menasihati orang lain dengan dalil, tapi lisannya kasar dan penuh caci. Mereka berdalih amar ma’ruf nahi munkar, padahal sedang menumpahkan ego. Dakwah menjadi alat menjatuhkan, bukan mengangkat. Padahal Rasulullah ﷺ diutus bukan untuk menghina, tetapi untuk menyempurnakan akhlak.

Munafik digital juga sering lupa bahwa Allah tidak menilai tampilan profil, melainkan isi hati. Sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Maka, percuma wajah tampak syar’i di foto, bila hati busuk di baliknya. Percuma berbagi ayat setiap hari, bila akhlak tak pernah berubah menjadi cermin dari ayat itu.

Namun bukan berarti kita harus berhenti berdakwah di media sosial. Justru dunia digital butuh lebih banyak pejuang yang tulus. Bedanya hanya satu: niat. Jika niatnya karena Allah, maka satu kalimat sederhana bisa jadi amal besar. Tapi jika niatnya karena popularitas, maka seribu postingan pun tak bernilai di sisi-Nya.

Sebelum menekan tombol “posting”, tanyakanlah pada diri sendiri: Apakah ini untuk Allah atau untuk manusia? Jika untuk manusia, hapuslah. Sebab semua yang kita pamerkan akan lenyap, dan yang tersisa hanyalah amal yang benar-benar ikhlas.

Karena kelak, di hadapan Allah, semua feed akan terhapus, semua story akan hilang, dan yang tertinggal hanyalah rekaman amal tanpa filter. Maka berhentilah tampil islami hanya di dunia maya, dan mulailah menjadi muslim sejati di dunia nyata. Sebab yang dicintai Allah bukan yang paling sering menulis tentang iman, tapi yang tetap beriman meski tak menulis apa pun.[]