PELITA MAJALENGA - Drama Korea (drakor) telah menjadi fenomena global yang memikat jutaan hati, termasuk masyarakat Indonesia. Dengan alur cerita yang romantis, pemeran yang menawan, serta sinematografi yang memanjakan mata, drakor hadir bagaikan racun manis. Ia memberi kesenangan sesaat, hiburan ringan, bahkan inspirasi gaya hidup. Namun di balik keindahannya, ada bahaya besar yang seringkali tidak disadari: fitnah akhir zaman yang perlahan merusak nilai moral, melemahkan iman, dan mengubah cara berpikir generasi Muslim.
Fenomena drakor tidak bisa dipandang remeh. Banyak remaja hingga orang dewasa menghabiskan waktu berjam-jam menonton episode demi episode, bahkan rela begadang hingga larut malam. Ketika hati sudah terikat, waktu yang seharusnya digunakan untuk ibadah, belajar, atau bersama keluarga, terkuras untuk hal yang tidak membawa keberkahan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu, yaitu nikmat kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari). Drakor seringkali menjadi jebakan yang membuat manusia lalai memanfaatkan nikmat waktu.
Lebih jauh lagi, drakor bukan hanya sekadar tontonan, melainkan paket lengkap gaya hidup. Dari cara berpakaian, gaya rambut, bahkan makanan khas Korea, semuanya menjadi tren. Generasi muda Muslim perlahan lebih bangga meniru budaya asing daripada mempelajari dan menghidupkan syiar Islam. Padahal Allah ﷻ telah memperingatkan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra: 36). Apa yang kita lihat dan dengar dari drakor kelak akan menjadi saksi di hadapan Allah.
Salah satu fitnah besar yang disebarkan drakor adalah normalisasi cinta bebas. Hampir semua cerita bertumpu pada kisah asmara: cinta segitiga, pacaran, atau bahkan hubungan yang jauh dari nilai Islam. Para penonton, terutama anak muda, secara tidak sadar menormalisasi perilaku itu dalam kehidupan nyata. Mereka belajar cara mengekspresikan cinta tanpa ikatan halal, merasa wajar untuk berpacaran, bahkan bermimpi kisahnya seperti tokoh drama. Padahal Rasulullah ﷺ mengingatkan: “Tidaklah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan kecuali setan yang ketiganya.” (HR. Tirmidzi). Apa yang digambarkan indah di layar, sejatinya adalah pintu menuju zina.
Drakor juga melahirkan standar palsu dalam kehidupan. Tokoh laki-laki digambarkan sangat tampan, romantis, kaya, sementara perempuan ditampilkan cantik, lembut, dan selalu terlihat sempurna. Standar ini menciptakan ilusi yang membuat penonton kecewa dengan realitas hidupnya sendiri. Banyak perempuan yang menuntut pasangannya harus seperti oppa-oppa Korea, dan banyak laki-laki yang minder karena tidak bisa memenuhi fantasi tersebut. Akhirnya, timbul ketidaksyukuran terhadap takdir Allah, padahal Allah ﷻ berfirman: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18).
Tidak sedikit pula orang yang menjadikan drakor sebagai pelarian dari masalah hidup. Saat merasa sedih atau stres, mereka menonton drama untuk menghibur diri, bukan kembali kepada Allah dengan doa dan ibadah. Padahal, Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28). Menenangkan hati dengan hiburan semu hanya menambah kosong jiwa, sedangkan dzikir dan Al-Qur’an adalah obat sejati.
Namun, bukan berarti kita harus menutup mata sama sekali terhadap hiburan. Islam tidak melarang manusia bergembira, tetapi memberi batas agar tidak melalaikan tujuan hidup. Drakor bisa menjadi hiburan asal tidak berlebihan, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menjerumuskan pada kemaksiatan. Sayangnya, dalam praktiknya, kebanyakan penonton justru terjerumus pada sikap berlebihan: candu, lupa diri, bahkan menjadikan drakor sebagai bagian identitas hidup.
Maka penting bagi Muslim untuk kembali menata diri. Waktu yang Allah berikan adalah amanah. Daripada tenggelam dalam fantasi dunia drama, lebih baik kita mengisi hari dengan kegiatan yang membangun iman, ilmu, dan amal. Ada begitu banyak kisah nyata dari Al-Qur’an dan sejarah para Nabi yang jauh lebih menyentuh daripada drama fiksi. Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam tentang kesabaran menghadapi fitnah wanita, kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tentang keteguhan iman, atau kisah para sahabat tentang pengorbanan dan persaudaraan—semua itu adalah tontonan hati yang menyejukkan jiwa.
Di akhir zaman ini, fitnah datang dalam berbagai bentuk, termasuk melalui layar kaca dan gawai. Racun manis bernama drakor bisa memabukkan bila tidak disikapi bijak. Seorang Muslim harus pandai memilah mana yang baik dan mana yang berbahaya. Allah ﷻ berfirman: “Dan katakanlah: yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra: 81). Drakor hanyalah bayangan semu yang akan lenyap, sementara kebenaran Islam abadi.
Akhirnya, mari kita tanyakan pada diri: apakah waktu yang kita habiskan untuk drakor akan menjadi saksi kebaikan atau penyesalan di hadapan Allah? Jika jawabannya penyesalan, maka saatnya berubah. Jadikan hidup kita lebih berharga dengan mendekat kepada Allah, mencintai Al-Qur’an, meneladani para Nabi, dan mengisi hari dengan amal yang bermanfaat. Karena sejatinya, dunia ini hanyalah drama singkat, sedangkan kehidupan akhirat adalah panggung utama yang menentukan kebahagiaan abadi.[BA]