Bukti Kehancuran Israel di Depan Mata

Tentara Israel banyak yang bunuh diri akibat tekanan psikologi
PELITA MAJALENGKA - Kehancuran sebuah rezim penjajah biasanya tidak datang secara tiba-tiba, tetapi melalui tanda-tanda yang jelas. Kini, tanda-tanda itu tampak nyata pada tentara penjajah Israel. Krisis moral, psikologis, dan militer mulai menggerogoti tubuh mereka dari dalam. Fenomena ini bukan sekadar isu, melainkan fakta yang diakui oleh para prajurit mereka sendiri.

Salah satu indikasi paling serius adalah krisis rekrutmen. Tentara penjajah Israel tidak lagi mampu menarik generasi muda untuk masuk ke dalam barisan militernya. Ironisnya, mereka kini mencari prajurit melalui grup Whatsapp, sebuah cara yang menunjukkan betapa terpuruknya lembaga militer yang selama ini digadang-gadang sebagai salah satu yang terkuat di dunia.

Metode perekrutan yang terkesan amatir ini menandakan krisis legitimasi. Para pemuda Israel tidak lagi melihat militer sebagai institusi yang layak dibanggakan. Bahkan, ajakan untuk bergabung sebagai tenaga medis maupun penembak jitu tidak lagi menarik perhatian banyak orang, meskipun ditawarkan dengan berbagai fasilitas.

Krisis cadangan pun menjadi pukulan besar. Banyak tentara cadangan menolak untuk kembali bertugas. Alasannya jelas: mereka tidak sanggup lagi menyaksikan dan terlibat dalam perilaku tidak bermoral terhadap rakyat Palestina. Mereka muak dengan kebrutalan yang dipraktikkan setiap hari, dan hati nurani mereka mulai menolak.

Lebih mengejutkan lagi, banyak prajurit Israel sendiri mengakui bahwa melenyapkan pejuang Palestina adalah sesuatu yang mustahil. Lebih dari 30 perwira dan prajurit menyatakan mereka sudah berada di “titik kehancuran”. Pengakuan ini bukan propaganda, melainkan realita pahit dari dalam tubuh militer penjajah.

Mengapa mustahil? Karena para pejuang Palestina menggunakan taktik perang gerilya yang cerdas dan efektif. Mereka bergerak cepat, sulit dideteksi, dan sangat memahami medan tempur. Hal ini membuat tentara penjajah Israel kewalahan, bahkan dengan segala kecanggihan persenjataan modern mereka.

Dua tahun bertempur di berbagai front telah membuat tentara Israel kelelahan. Operasi yang berlangsung hingga 70 hari tanpa henti telah menyedot habis tenaga dan mental mereka. Banyak yang akhirnya tumbang, baik secara fisik maupun psikis, sehingga tidak lagi mampu menjalankan perintah militer.

Tentara Israel: Dari Mesin Perang Menjadi Pasukan Bunuh Diri Massal

Masalah terbesar yang kini menghantam mereka adalah krisis psikologis. Sejak tahun 2024, angka bunuh diri di kalangan tentara Israel meningkat drastis. Sebanyak 21 prajurit bunuh diri pada tahun itu, dan sejak awal 2025, jumlahnya sudah mencapai 22 orang. Angka ini menunjukkan keretakan jiwa yang semakin membesar.

Tekanan psikologis akibat perang di Jalur Gaza menjadi penyebab utama. Bayangan ledakan, ketakutan akan serangan balasan, serta rasa bersalah akibat membantai warga sipil membekas dalam pikiran mereka. Trauma ini terus menghantui, bahkan saat mereka sudah kembali ke rumah masing-masing.

Data menunjukkan lebih dari 10 ribu prajurit Israel kini menjalani rehabilitasi trauma psikologis dan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Jumlah ini menggambarkan sebuah generasi tentara yang hancur secara mental, tak mampu lagi berdiri tegak menghadapi perlawanan.

Namun, secara resmi, militer Israel hanya mengakui 3.769 kasus gangguan psikologis. Angka ini jelas manipulatif, sebab kenyataan di lapangan jauh lebih parah. Mereka menutupi fakta demi menjaga citra, padahal keruntuhan itu sudah tidak bisa disembunyikan lagi.

Jika sebuah pasukan tidak lagi mampu menjaga stabilitas mental prajuritnya, maka runtuhlah kekuatan militer tersebut. Tak peduli seberapa modern persenjataan yang dimiliki, tentara tanpa mental yang kuat hanyalah mesin kosong yang mudah dihancurkan.

Pengakuan bahwa melenyapkan pejuang Palestina itu mustahil adalah puncak dari kehancuran moral. Rasa takut, putus asa, dan kelelahan kini menjadi wajah asli tentara penjajah. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa rezim ini sedang menuju masa akhirnya.

Di sisi lain, pejuang Palestina justru semakin kokoh. Dengan keterbatasan senjata, mereka tetap berjuang dengan semangat yang tidak pernah padam. Keyakinan bahwa mereka membela tanah air dan agamanya menjadi energi yang tidak bisa ditandingi oleh teknologi militer manapun.

Maka, krisis rekrutmen, bunuh diri massal, trauma psikologis, hingga pengakuan mustahilnya menghancurkan perlawanan Palestina adalah bukti nyata bahwa kehancuran Israel kini ada di depan mata. Rezim penjajah ini tidak sedang menuju kemenangan, melainkan perlahan-lahan hancur dari dalam tubuhnya sendiri.[BA]