Ketika Media Sosial Menjadi Cermin Ketimpangan Sosial


DI ERA digital saat ini, media sosial tak hanya menjadi ruang interaksi, tetapi juga menjadi panggung pertunjukan kehidupan. Kita bisa melihat keseharian seseorang hanya dari unggahan foto, video, atau status yang mereka bagikan. Namun di balik kemudahan itu, media sosial perlahan menjadi cermin yang memantulkan realitas yang tidak merata: ketimpangan sosial.

Scroll demi scroll di layar ponsel memperlihatkan potret kehidupan yang sering kali glamor, penuh liburan, mobil mewah, rumah estetik, dan gaya hidup yang nyaris sempurna. Tapi di sisi lain, ada banyak yang hanya menjadi penonton pasif. Mereka yang mungkin sedang berjuang menafkahi keluarga, menahan lapar, atau menghadapi tekanan hidup, terpaksa menyaksikan parade kemewahan yang jauh dari jangkauan mereka.

Fenomena ini menimbulkan “kesenjangan digital emosional”. Bukan hanya karena ada yang tidak punya akses internet, melainkan karena meski terkoneksi, mereka merasa “terputus” secara emosional akibat standar kehidupan yang terus meningkat di linimasa. Media sosial yang seharusnya mendekatkan, justru menciptakan rasa keterasingan.

Tidak sedikit anak muda yang merasa minder, depresi, atau kehilangan arah karena membandingkan hidup mereka dengan unggahan orang lain. Padahal apa yang ditampilkan di media sosial sering kali hanya potongan-potongan terbaik, bahkan hasil editan dan manipulasi. Namun tetap saja, perbandingan itu terjadi secara otomatis di benak banyak orang.

Ketimpangan sosial yang dulunya tampak di jalan atau berita, kini hadir dalam genggaman tangan. Kita bisa melihat seseorang yang hidup berkecukupan, belanja tanpa berpikir panjang, di saat yang sama ada orang lain yang bahkan kesulitan membeli kebutuhan pokok. Ironisnya, semua itu dipertontonkan di satu platform yang sama: media sosial.

Tak jarang pula, fenomena flexing atau pamer kekayaan justru menjadi tren yang dianggap biasa. Alih-alih menjadi inspirasi, gaya hidup semacam ini malah mempertegas jurang sosial. Orang-orang berlomba menampilkan citra, bukan realita. Akibatnya, nilai kesederhanaan, empati, dan kebersamaan makin memudar.

Media sosial juga memberi panggung bagi selebritas dan influencer yang kehidupannya jauh dari mayoritas rakyat. Mereka menjadi tolok ukur gaya hidup baru, meskipun yang meniru sering kali tidak punya kemampuan yang sama. Inilah yang kemudian mendorong perilaku konsumtif dan hedonistik, meskipun finansial tidak mendukung.

Namun media sosial tak sepenuhnya kelam. Ia juga bisa menjadi alat penggerak kesadaran sosial. Banyak isu ketimpangan yang akhirnya viral dan mendapat perhatian publik. Kisah tentang kemiskinan, ketidakadilan, dan perjuangan hidup bisa menjadi pemantik empati dan aksi nyata, jika dikemas dengan baik dan disebarkan secara bijak.

Yang dibutuhkan hari ini adalah literasi digital yang lebih kuat. Masyarakat perlu diajak memahami bahwa media sosial bukan cermin utuh dari realitas. Mereka perlu dibekali kemampuan memilah, memahami, dan merespons informasi secara sehat agar tidak terjebak dalam ilusi sosial yang menyesatkan.

Ketika media sosial menjadi cermin ketimpangan sosial, maka tugas kita bukan menghancurkan cermin itu, tapi menyadarkan masyarakat agar tak hanya terpaku pada bayangan yang terlihat. Kita perlu menjadikan media sosial sebagai alat untuk memperkecil jurang sosial, bukan memperlebarnya. Dunia maya bisa menjadi ruang untuk membangun solidaritas, bukan sekadar panggung kesenjangan. Sudah saatnya kita bijak bersosial di era digital.[Ba]