Jakarta Tiba-Tiba Siaga TBC: Kesehatan Warga atau Alarm Industri Farmasi?


PELITA MAJALENGKA
- Beberapa pekan terakhir, Jakarta mendadak ramai dengan berita siaga Tuberkulosis (TBC). Pemerintah DKI Jakarta bahkan menetapkan status "KLB TBC" (Kejadian Luar Biasa) di sejumlah wilayah karena lonjakan jumlah kasus. TBC, penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, bukanlah penyakit baru. 

Namun, meningkatnya perhatian pemerintah dan media terhadap penyakit ini belakangan membuat banyak pihak bertanya-tanya: benarkah kita sedang berada di ambang krisis kesehatan, atau ini alarm lain dari industri farmasi?

Pertanyaan ini makin menguat setelah Bill Gates, tokoh teknologi dan filantropis dunia yang aktif dalam pendanaan vaksin global, kembali menjadi sorotan. Dalam beberapa forum internasional, ia berbicara tentang pentingnya vaksin baru untuk melawan penyakit-penyakit lama seperti TBC, bahkan memprediksi bahwa investasi besar-besaran di bidang vaksinasi akan menjadi kunci kesehatan masa depan. Apakah ini sekadar sinyal kemanusiaan, atau ada jejak lain yang perlu dikritisi secara lebih kritis?

Jakarta: Potret Masalah TBC yang Menahun

Indonesia menempati posisi ke-2 dunia dengan jumlah penderita TBC terbanyak setelah India. Di ibu kota Jakarta saja, data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat lebih dari 50.000 kasus TBC pada tahun 2023. Itu berarti, rata-rata ada 137 kasus baru per hari.(Kompas, 6 Mei 2024).

Lonjakan ini mendorong Pemprov DKI menetapkan status Siaga TBC. Langkah ini secara administratif membuka pintu bagi berbagai intervensi kebijakan, mulai dari penyuluhan massal, pelacakan kontak erat, hingga peningkatan anggaran untuk program pengobatan TBC. Sekilas, ini adalah kabar baik: pemerintah serius menangani masalah kesehatan rakyatnya.

Namun, di sisi lain, publik yang mulai waspada sejak pandemi COVID-19 menjadi lebih sensitif terhadap pola-pola intervensi kesehatan yang tiba-tiba massif. Sejumlah pengamat menilai bahwa status siaga ini harus dibaca lebih dalam—terutama karena narasi global terkait TBC, vaksin, dan intervensi farmasi sedang kembali menguat.

TBC dan Vaksin: Apa yang Sedang Terjadi di Dunia?

Dalam forum World Economic Forum (WEF) dan pertemuan-pertemuan internasional lainnya, Bill Gates secara terbuka menyatakan bahwa dunia butuh vaksin TBC yang lebih efektif. Vaksin BCG yang digunakan saat ini sudah berumur lebih dari satu abad dan dinilai kurang efektif untuk mencegah TBC paru pada orang dewasa.(WHO, 2023)

Vaksin ini kini memasuki uji klinis fase III, dan Gates Foundation menginvestasikan lebih dari 400 juta dolar AS untuk tahap pengembangan lanjutan (sumber: The Guardian, 2023). Dalam berbagai pernyataannya, Gates menyebut TBC sebagai “epidemi diam-diam” yang membutuhkan “intervensi vaksinasi besar-besaran”.

Apakah kemunculan “KLB TBC” di Jakarta berkaitan langsung dengan narasi global ini? Secara resmi tidak ada bukti langsung. Tapi korelasi waktunya mengundang pertanyaan.

Melalui yayasan Bill & Melinda Gates Foundation, dana ratusan juta dolar digelontorkan untuk riset vaksin TBC baru. Salah satu kandidat vaksin, M72/AS01E, yang dikembangkan oleh GSK dan didanai oleh Gates Foundation, kini berada dalam uji coba tahap lanjut. Jika berhasil, vaksin ini bisa menjadi game-changer dalam penanganan TBC di seluruh dunia.

Yang menarik, kampanye-kampanye siaga TBC di sejumlah negara berkembang—termasuk Indonesia—datang hampir bersamaan dengan narasi global ini. Seolah ada benang merah antara perhatian internasional, dukungan vaksinasi, dan peningkatan penanganan lokal.

Industri Farmasi dan Politik Kesehatan Global

Industri farmasi global bukan hanya entitas bisnis biasa. Ia adalah bagian dari kekuatan geopolitik yang bisa menentukan arah kebijakan suatu negara. Sejak pandemi COVID-19, dunia menyaksikan bagaimana vaksin bisa menjadi alat negosiasi politik, ekonomi, bahkan pertahanan.

Pernyataan Bill Gates dan keterlibatannya dalam riset vaksin TBC tentu bukan hal yang salah secara moral. Namun, mengingat posisi strategis Gates Foundation dalam dunia kesehatan global, wajar jika publik mempertanyakan: apakah kampanye TBC ini murni demi kesehatan warga, atau menjadi bagian dari strategi pemasaran vaksin tahap lanjut?

Beberapa kalangan menilai bahwa penanganan TBC yang terlalu berorientasi vaksin bisa mengabaikan akar masalah utamanya: lingkungan padat, kemiskinan, gizi buruk, dan akses kesehatan yang terbatas. Tanpa pembenahan sistemik, vaksin hanya akan menjadi pereda gejala, bukan penyembuh masalah sosial yang melatarinya.

TBC di Jakarta: Potret Ketimpangan dan Urbanisasi

Jakarta dengan segala kompleksitasnya menjadi contoh sempurna mengapa TBC begitu sulit diberantas. Di kota yang menjadi magnet urbanisasi ini, kepadatan penduduk sangat tinggi. Banyak kawasan padat penduduk seperti Tambora, Tanah Abang, dan Johar Baru menjadi episentrum penyebaran TBC.

Lingkungan tempat tinggal yang sempit, ventilasi buruk, serta sanitasi yang minim menjadikan penularan TBC sulit dibendung. Tak jarang, satu rumah dihuni tiga sampai empat keluarga, dengan sistem kamar tidur bergantian. Dalam kondisi seperti ini, TBC dapat menyebar dengan sangat cepat hanya lewat batuk atau bersin.

Alih-alih hanya menyoroti vaksin, pemerintah seharusnya menaruh perhatian besar pada upaya perbaikan lingkungan, peningkatan gizi, dan edukasi kesehatan. Jika akar masalahnya tetap dibiarkan, maka TBC akan selalu menjadi ‘tambang emas’ yang bisa terus dimonetisasi.

Media, Publik, dan Pola Komunikasi Krisis Kesehatan

Satu hal yang menjadi sorotan adalah pola komunikasi pemerintah dan media saat mengangkat isu TBC. Banyak warga merasa bahwa informasi yang beredar terlalu menakut-nakuti, seperti ‘penyebaran masif’, ‘krisis menular’, dan ‘potensi kematian tinggi’. Pola ini mirip dengan narasi yang digunakan saat awal pandemi COVID-19.

Narasi yang menakutkan seperti ini membuat masyarakat berada dalam dilema: antara benar-benar waspada atau justru skeptis. Pengalaman pandemi sebelumnya membuat publik lebih kritis, terutama saat narasi ‘krisis’ muncul beriringan dengan wacana vaksinasi besar-besaran.

Apalagi jika pada akhirnya, vaksin baru dikomersialisasikan dengan harga tinggi, atau menjadi bagian dari skema subsidi negara. Maka pertanyaan wajar muncul: siapa yang benar-benar diuntungkan?

Apa yang Perlu Dilakukan?

Menangani TBC memang harus menyeluruh. Vaksin bisa menjadi salah satu cara, tapi bukan satu-satunya. Pemerintah harus memastikan bahwa pendekatan penanganan TBC tidak melulu difokuskan pada intervensi medis dan farmasi. Perlu strategi jangka panjang yang melibatkan:

  1. Perbaikan lingkungan permukiman
    Membenahi kawasan kumuh dengan penyediaan rumah layak, air bersih, dan sanitasi memadai adalah langkah awal pencegahan TBC.

  2. Pendidikan kesehatan dan promosi perilaku hidup bersih
    Penyuluhan harus merata hingga ke gang-gang sempit Jakarta. Edukasi tentang etika batuk, menjaga kebersihan rumah, dan kepatuhan minum obat sangat penting.

  3. Pemenuhan gizi masyarakat miskin
    TBC lebih rentan menyerang mereka yang memiliki imunitas lemah akibat gizi buruk. Program pangan sehat perlu menjadi bagian dari kebijakan anti-TBC.

  4. Pelibatan komunitas lokal dan tokoh masyarakat
    Penanganan berbasis komunitas lebih efektif dibandingkan program top-down yang kaku. Keterlibatan RT, RW, dan kader kesehatan sangat menentukan.

  5. Keterbukaan informasi dan transparansi kebijakan vaksinasi
    Jika vaksin TBC baru akan diujicobakan atau digunakan, pemerintah harus menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat, termasuk tentang efektivitas, efek samping, dan keterlibatan pihak asing.

Kesehatan Bukan Sekadar Bisnis

Pertanyaan besar tentang “apakah siaga TBC ini demi kesehatan rakyat atau bagian dari agenda industri farmasi” tidak bisa dijawab secara hitam-putih. Di satu sisi, data menunjukkan bahwa TBC memang masih menjadi momok nyata di Jakarta. Di sisi lain, publik juga berhak mempertanyakan arah kebijakan kesehatan yang terlalu medis dan komersial.

Di tengah semua ini, satu hal yang pasti: kesehatan masyarakat tidak boleh dikorbankan demi kepentingan bisnis global, bahkan jika itu berlabel “filantropi”. Pemerintah harus berdiri tegak sebagai pelindung rakyat, bukan hanya sebagai distributor program dari lembaga-lembaga besar luar negeri.

Jakarta bisa menjadi kota percontohan penanggulangan TBC—jika keberpihakan pada rakyat kecil menjadi prioritas utama, bukan hanya proyek vaksin semata.[BA]