Di sebuah sudut kafe hijrah yang berlabel syar’i, denting gelas kopi bersahut dengan lantunan zikir dari speaker kecil. Seorang pemuda dengan jubah abu-abu dan tasbih di tangan, duduk sambil memandangi layar ponselnya. Di akun Instagram-nya, deretan foto-foto hijrah dengan kutipan ayat dan hadis tersusun rapi. Beberapa hari lalu, followers-nya bertambah ribuan karena unggahan bertema #ThrowbackMaksiat, yang menggambarkan betapa gelap masa lalunya dan betapa putih masa hijrahnya sekarang.
Namun, siapa sangka, tiga bulan kemudian, akun itu mendadak lenyap. Pemiliknya tak lagi tampak di kajian mingguan, dan kabar burung menyebut ia kembali pada lingkaran malam yang pernah ia tinggalkan.
Fenomena ini bukan hal baru. Hijrah, dalam beberapa tahun terakhir, mengalami lonjakan luar biasa dalam dunia media sosial dan komunitas urban Muslim. Dari gaya berpakaian, tren nama usaha Islami, hingga fenomena selebritas hijrah, semuanya menyuguhkan wajah hijrah yang “populer”. Tapi di balik itu semua, pertanyaannya satu: benarkah hijrah hanya sekadar tren?
Menelusuri Makna Hijrah yang Sesungguhnya
Dalam Islam, hijrah bukan hal sepele. Ia bukan tentang perubahan gaya semata, melainkan sebuah komitmen besar dalam hidup. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hijrah, secara historis, merujuk pada peristiwa besar saat Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya berpindah dari Makkah ke Madinah demi menyelamatkan iman dan menegakkan Islam. Tapi secara konseptual, hijrah juga berarti berpindah dari kemaksiatan menuju ketaatan, dari gelap menuju cahaya, dari ego menuju penghambaan kepada Allah SWT.
Ustaz Hanan Attaki, salah satu tokoh muda yang kerap mengisi kajian hijrah, mengatakan, "Hijrah bukan hanya meninggalkan dosa, tapi juga memperjuangkan iman. Tidak cukup merasa lebih baik dari dulu, tapi harus terus merasa belum cukup taat kepada Allah.”
Dari Popularitas Menuju Penghayatan
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “anak hijrah” ramai digunakan, baik oleh para pemuda yang benar-benar mencari kebenaran, maupun mereka yang “ikut-ikutan” karena terlihat keren dan diterima dalam lingkungan baru. Ada komunitas-komunitas yang lahir dari semangat ingin berubah, tapi tak sedikit pula yang terbentuk hanya demi ajang kumpul-kumpul, tanpa muatan ruhiyah yang mendalam.
Nisa (24), seorang mahasiswi yang dulu aktif dalam komunitas hijrah kampus, menceritakan pengalaman pahitnya. “Dulu aku semangat banget ikut kajian, upload foto dengan kutipan Al-Qur’an, pakai gamis, ikut liqo. Tapi lama-lama aku merasa hampa. Teman-teman di komunitas lebih sibuk membahas brand gamis atau skincare halal daripada memperbaiki akhlak. Aku mundur perlahan karena merasa ini bukan hijrah yang aku cari.”
Fenomena ini menunjukkan bahwa hijrah yang dipahami sebagai branding spiritual bisa saja rapuh jika tidak dibarengi dengan ilmu dan keikhlasan. Hijrah yang hanya berorientasi sosial—ingin terlihat Islami, ingin diterima dalam komunitas—seringkali tidak tahan uji saat godaan datang menghantam.
Ujian: Harga Sebuah Komitmen
Hijrah sejati bukan tentang meninggalkan maksiat sehari dua hari, lalu bersorak karena sudah "berubah." Hijrah sejati diuji oleh konsistensi dalam jangka panjang. Ia seperti mendaki gunung: berat, melelahkan, tapi menjanjikan puncak yang indah.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa hijrah memiliki dua dimensi: hijrah fisik (dari tempat maksiat ke tempat kebaikan) dan hijrah hati (dari cinta dunia menuju cinta Allah). Dimensi kedua inilah yang paling berat, karena menyangkut komitmen jiwa.
Contoh nyata datang dari kehidupan para sahabat. Umar bin Khattab RA, misalnya, sebelum masuk Islam dikenal sebagai penentang dakwah Nabi. Tapi setelah hijrah, ia menjadi salah satu pilar kekuatan Islam. Ia tak hanya mengubah penampilan, tapi mengubah visi hidupnya sepenuhnya.
Komitmen ini pula yang harus dipahami oleh generasi hijrah masa kini. Hijrah bukan sekadar memakai celana cingkrang atau hijab syar’i, bukan pula hanya menghapus foto masa lalu. Ia adalah janji kepada Allah: bahwa aku ingin taat, dan aku siap bertahan dalam taat, meski tak lagi populer, meski harus kehilangan teman, bahkan kehilangan dunia.
Hijrah dan Ilmu: Kunci Keberlanjutan
Satu kunci penting agar hijrah tak jadi tren sesaat adalah membangun pondasi dengan ilmu. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS. Az-Zumar: 9)
Ilmu adalah cahaya yang menuntun langkah hijrah tetap berada di jalan yang benar. Tanpa ilmu, semangat bisa tersesat. Tanpa ilmu, hijrah bisa jadi fanatisme kosong. Maka jangan heran jika ada yang mengaku hijrah tapi mudah mengkafirkan orang lain, atau merasa lebih suci hanya karena sudah berjilbab lebar.
Ustaz Adi Hidayat dalam salah satu ceramahnya menekankan pentingnya menyeimbangkan hijrah dengan ilmu. “Semangat boleh besar, tapi harus diarahkan. Jangan sampai hijrah malah menimbulkan fitnah karena tidak berdasarkan ilmu,” ujarnya.
Belajar fiqih dasar, memahami adab Islami, menata hati dengan tafsir Al-Qur’an, adalah bagian tak terpisahkan dari proses hijrah. Tanpa itu, hijrah hanya jadi bungkus kosong yang mudah robek saat diterpa angin dunia.
Konsistensi: Jalan Terjal Tapi Mulia
Konsistensi atau istiqamah adalah ruh dari hijrah sejati. Allah menjanjikan kemuliaan bagi orang-orang yang istiqamah, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: 'Tuhan kami ialah Allah' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.'" (QS. Fussilat: 30)
Namun, istiqamah tak datang begitu saja. Ia butuh mujahadah (perjuangan). Ada kalanya kita merasa futur, bosan, bahkan ingin menyerah. Tapi di situlah kita diuji. Allah ingin melihat siapa yang benar-benar hijrah karena-Nya, bukan karena manusia.
Salah satu cara menjaga istiqamah adalah dengan menjaga lingkungan. Bergaul dengan orang-orang saleh, ikut halaqah rutin, memperbanyak doa, dan menahan diri dari godaan dunia, adalah bekal penting dalam menjaga komitmen hijrah.
Hijrah Tanpa Akhir
Hijrah bukan destinasi, melainkan perjalanan seumur hidup. Setiap hari adalah kesempatan hijrah: dari lalai menuju sadar, dari sombong menuju rendah hati, dari dosa menuju ampunan.
Ustaz Salim A. Fillah pernah berkata, “Hijrah sejati adalah saat kita tak lagi merasa lebih baik dari siapa pun, melainkan terus merasa perlu memperbaiki diri.”
Hijrah bukan tentang siapa yang paling cepat berubah, tapi siapa yang paling tahan dalam perubahan. Bukan tentang siapa yang paling lantang bicara taubat, tapi siapa yang paling sabar menjaga taubatnya hingga akhir hayat.
Epilog: Menjadi Cahaya di Tengah Kegelapan
Di era digital ini, godaan untuk menjadikan hijrah sebagai ajang pamer sangat besar. Tapi mari kita ingat, bahwa tujuan hijrah bukan untuk disorot manusia, tapi agar kita lebih dekat dengan Allah.
Menjadi pribadi yang hijrah adalah menjadi cahaya di tengah kegelapan. Bukan cahaya yang menyilaukan orang lain, tapi cahaya yang membimbing diri sendiri dan orang sekitar menuju jalan yang lurus.
Karena hijrah bukan tentang eksistensi di dunia maya, tapi eksistensi di hadapan Allah. Dan di akhirat kelak, bukan jumlah followers atau likes yang ditanya, tapi seberapa istiqamah kita memelihara hijrah hingga ajal menjemput.
Hijrah itu bukan tren. Ia bukan seragam komunitas atau estetika media sosial. Hijrah adalah kesadaran spiritual, adalah panggilan jiwa, adalah komitmen sepanjang zaman.[Ba]