Bayar sekolah anak, listrik, dan kebutuhan dapur seringkali membuat tagihan pajak tanah miliknya terabaikan. Denda menumpuk, seolah menjadi beban yang tak pernah berhenti mengejarnya.
Namun kabar baik datang dari Pemerintah Kabupaten Majalengka. Melalui kebijakan pemutihan denda Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Ibu Siti dan ribuan masyarakat kecil lainnya kini terbebas dari jeratan denda keterlambatan.
Kebijakan ini berlaku untuk tahun pajak 2020 hingga 2025, dengan harapan masyarakat bisa kembali tenang melanjutkan hidup tanpa dihantui tunggakan.
“Untuk denda keterlambatan PBB-P2 kita bebaskan. Tapi ingat, kebijakan ini hanya untuk masyarakat kecil. Industri besar tetap wajib membayar sesuai ketentuan,” tegas Bupati Majalengka, H. Eman Suherman, saat mengumumkan program ini pada Rabu (10/9/2025). Kalimat itu bagai pelita di tengah gelap, memberi secercah harapan bagi mereka yang selama ini terpinggirkan.
Langkah berani ini bukan sekadar angka dalam neraca pendapatan daerah. Ia adalah bukti nyata kepedulian pemerintah terhadap denyut nadi ekonomi rakyat kecil. Dengan dibebaskannya denda, masyarakat tak lagi perlu merasa takut membuka amplop tagihan pajak yang biasanya penuh dengan angka-angka menekan.
Rachmat Gunandar, Kepala Bapenda Majalengka, menjelaskan bahwa program ini mencakup dua kategori. Pertama, tahun pajak 2020–2024 yang bisa dibayarkan mulai 1 September hingga 31 Desember 2025.
Kedua, tahun pajak 2025 yang berlaku khusus pada periode 1–30 September 2025. “Program ini diharapkan meringankan beban masyarakat sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak. Dari situ, pembangunan daerah pun bisa berjalan lebih baik,” jelasnya.
Tak hanya berhenti pada kebijakan, Pemkab Majalengka juga membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat agar pembayaran pajak lebih mudah. Dari petugas desa yang mendatangi warga, hingga layanan digital modern seperti QRIS, Alfamart, OVO, Tokopedia, Bank BJB, hingga PT Pos Indonesia. Semua disiapkan agar masyarakat tak punya alasan lagi untuk menunda.
Bagi sebagian orang berada, angka denda mungkin hanyalah sebutir pasir di pantai. Namun bagi masyarakat kecil, ia bisa jadi sebesar batu yang menindih pundak. Di sinilah letak daya gugah dari kebijakan pemutihan ini: sebuah tangan pemerintah yang terulur untuk menolong warganya agar bisa berdiri tegak kembali.
Kini, wajah-wajah cemas mulai berganti dengan senyum lega. Dari warung kopi di pinggir sawah hingga gang-gang sempit di perkotaan, kabar pemutihan denda PBB-P2 menjadi bahan obrolan hangat. Rakyat kecil merasa diperhatikan, bukan sekadar dipungut kewajibannya, tetapi juga diberi ruang untuk bernapas.
Dan dari sinilah Majalengka mengirim pesan: pembangunan bukan hanya soal gedung tinggi atau jalan mulus, tetapi juga tentang bagaimana pemerintah hadir meringankan beban rakyatnya. Karena sejatinya, keadilan bukan sekadar menuntut kewajiban, melainkan juga memberi kesempatan untuk bangkit kembali.[]