PELITA MAJALENGKA - Di tengah dinamika dunia pendidikan yang semakin kompleks, hadirnya sekolah Islami seharusnya menjadi oase di tengah derasnya arus kebebasan yang tak terkendali. Sekolah Islami seharusnya menjadi tempat di mana nilai-nilai agama ditanamkan dengan kuat, membentuk karakter generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga baik secara moral.
Namun, apa yang terjadi ketika sekolah-sekolah Islami justru menjadi tempat di mana budaya bebas—bahkan bertentangan dengan nilai-nilai agama—justru tumbuh subur? Siapa yang bertanggung jawab atas fenomena ini?
Sekolah Islami: Sebuah Harapan
Sekolah Islami muncul sebagai jawaban terhadap kebutuhan akan pendidikan yang tidak hanya mengutamakan kecerdasan otak, tetapi juga membentuk karakter berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan anak-anak agar tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki keimanan yang kuat, akhlak mulia, dan sikap yang sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagai tempat belajar yang mengedepankan nilai-nilai keislaman, sekolah-sekolah ini semestinya menjadi pelindung dari pengaruh-pengaruh luar yang dapat merusak moralitas.
Namun, belakangan ini, banyak yang mulai mempertanyakan efektivitas pendidikan di sekolah-sekolah Islami. Di balik berbagai aturan yang terkesan Islami, ada banyak pelanggaran yang terjadi dalam praktik kesehariannya. Ini bukan hanya masalah fasilitas atau metode pengajaran, tetapi masalah budaya yang berkembang dalam lingkungan sekolah itu sendiri.
Budaya Bebas yang Mengancam
Fenomena budaya bebas yang berkembang di sekolah-sekolah Islami ini sangatlah mengkhawatirkan. Beberapa di antaranya dapat berupa pergaulan bebas antara siswa, gaya berpakaian yang tidak sesuai dengan syariat, hingga perilaku yang tidak mencerminkan akhlak Islami. Misalnya, penggunaan pakaian yang terbuka atau pergaulan antara lawan jenis tanpa pengawasan yang memadai.
Meskipun aturan mengenai hijab dan pakaian sopan sudah diterapkan, kenyataannya, banyak siswa yang justru menentang aturan tersebut dengan alasan kebebasan berpendapat atau sekadar mengikuti tren.
Apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena ini? Salah satu penyebabnya adalah lemahnya pengawasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai Islam itu sendiri. Banyak siswa yang terjebak dalam pemahaman yang dangkal tentang agama, hanya mengetahui sekedar aturan, tanpa memahami makna mendalam dari ajaran yang mereka anut. Ini adalah masalah besar yang harus segera diperbaiki.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, siapa yang bertanggung jawab dalam menciptakan budaya ini? Apakah sekolah hanya sekadar tempat penyampaian materi tanpa melibatkan moralitas dalam proses belajar? Ataukah orang tua yang kurang memberikan perhatian terhadap pengawasan perilaku anak-anak mereka? Atau, apakah ada kesalahan dalam sistem pendidikan Islam itu sendiri?
Tentu saja, semua pihak memiliki tanggung jawab. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, harus menjadi pelopor dalam membentuk akhlak mulia siswa. Pendidik di sekolah harus bisa menjadi teladan dalam perilaku dan sikap, tidak hanya mengajar mata pelajaran agama, tetapi juga menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik harus bisa memberikan contoh nyata bahwa ajaran Islam bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi adalah pedoman hidup yang harus dihayati dan diterapkan.
Di sisi lain, orang tua memiliki peran yang tak kalah penting. Mereka adalah pihak pertama yang mendidik dan membentuk karakter anak-anak. Pendidikan di rumah harus sejalan dengan pendidikan di sekolah. Orang tua harus menanamkan nilai-nilai agama yang kuat, memberi teladan, dan selalu mengawasi setiap langkah yang diambil anak mereka.
Introspeksi untuk Semua
Fenomena budaya bebas di sekolah-sekolah Islami ini adalah cermin dari ketidakselarasan antara harapan dan kenyataan. Ini bukan hanya masalah siswa atau sekolah saja, tetapi juga masalah bersama. Kita semua, baik sebagai masyarakat, pendidik, maupun orang tua, perlu melakukan introspeksi.
Apakah kita sudah menjalankan peran kita dengan baik? Apakah kita sudah memberikan contoh yang baik kepada generasi muda? Atau, apakah kita terlalu fokus pada hal-hal yang bersifat lahiriah, sementara yang esensial—pendidikan akhlak dan spiritual—terabaikan?
Sebagai umat Islam, kita harus menyadari bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang membentuk karakter dan akhlak yang mulia. Sekolah Islami seharusnya menjadi tempat yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membimbing siswa untuk menjadi pribadi yang taat kepada Allah, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab terhadap sesama.
Oleh karena itu, tanggung jawab ini bukan hanya terletak pada satu pihak saja, tetapi harus menjadi tanggung jawab bersama. Dengan kerjasama yang baik, kita bisa memastikan bahwa sekolah Islami benar-benar menjalankan tujuannya untuk menciptakan generasi yang berkualitas, baik secara intelektual maupun spiritual.
Sekolah Islami yang diharapkan menjadi benteng moral justru harus menghadapi tantangan budaya bebas yang dapat merusak karakter siswa. Hal ini adalah tanggung jawab bersama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk memastikan pendidikan yang diberikan tidak hanya fokus pada kecerdasan, tetapi juga pada pembentukan karakter berdasarkan nilai-nilai Islam yang sejati.
Sudah saatnya kita melakukan introspeksi dan berkomitmen untuk menjadikan pendidikan Islami sebagai sarana untuk menumbuhkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga mulia.[Ba]