Tertawa di Dunia, Menangis di Kubur


PELITA MAJALENGKA
- Hari ini engkau tertawa. Bibirmu merekah, matamu menyipit bahagia, dadamu lapang. Tapi tahukah engkau… bisa jadi itu adalah tawa terakhirmu? Bisa jadi detik-detik setelah tawa itu, malaikat maut datang menyapa.

Hati-hati tertawa... Sebab terlalu banyak tertawa bisa mengeraskan hati. Membuat kita lupa bahwa dunia ini bukan tempat tinggal, hanya tempat singgah. Membuat kita lengah bahwa hidup ini bukan permainan, tapi ujian. Membuat kita lupa bahwa kematian tak pernah janji datang besok—ia bisa datang hari ini, bisa datang sekarang.

Tertawa itu tak dilarang. Tapi jika tawa membuatmu lupa Allah, membuatmu lalai dari amal, membuatmu jauh dari taubat—maka itu bukan lagi kenikmatan, tapi kelalaian yang menyesatkan.

Renungkan sejenak… berapa banyak waktu kita habiskan untuk tertawa, bercanda, menghibur diri… tapi lupa untuk menangis karena dosa?

Kapan terakhir kali engkau menangis karena merasa malu kepada Allah?

Kapan terakhir kali engkau gemetar memikirkan bahwa engkau bisa mati dalam keadaan belum sempat bertaubat?

Kita terlalu sering tertawa dengan mulut, tapi lupa menangis dengan hati. Padahal dosa-dosa sudah menumpuk. Amal shalih masih sedikit. Al-Qur’an jarang dibaca. Shalat sering ditunda. Sedekah berat sekali. Hati sering sombong. Lisan sering menyakiti. Tapi kita masih bisa tertawa… seakan-akan semua baik-baik saja.

Wahai diri… sadarlah!

Kuburan bukan tempat orang lucu. Kubur itu gelap, sempit, dingin. Tak ada teman, tak ada handphone, tak ada tawa. Yang ada hanya amal yang menemanimu. Dan jika amalmu sedikit, bagaimana engkau akan bertahan?

Bayangkan jika tawa yang kau lontarkan hari ini, menjadi tawa terakhirmu. Setelah itu, tubuhmu lemas. Orang-orang panik. Kau dibawa ke rumah sakit, atau mungkin langsung dimandikan. Dibalut kafan. Disalatkan. Dikubur. Dan sejak itu, dunia melupakanmu perlahan-lahan.

·       Apakah engkau siap?

·       Sudah cukupkah amalmu?

·       Sudah layakkah engkau menghadap Allah?

Atau justru malaikat akan berkata, “Wahai jiwa yang kotor, keluarlah menuju murka dan azab Allah.” Na’udzubillahi min dzalik.

Wahai hamba yang sering tertawa, tahukah engkau bahwa Rasulullah , manusia paling mulia, menangis hampir setiap malamnya karena takut kepada Allah?

Padahal dosanya diampuni. Padahal jaminannya surga. Tapi beliau tetap menangis. Lalu kita… yang penuh dosa, yang lalai, yang sering durhaka… kita malah banyak tertawa.

Alangkah malunya kita kepada Allah. Kita tertawa dalam kelalaian, seolah hidup ini akan lama. Padahal ajal mungkin hanya sejengkal di depan.

Wahai saudaraku… sebelum tertawa lagi, renungilah ini:

·       Sudahkah engkau meminta ampun hari ini?

·       Sudahkah engkau menyentuh mushaf dan membaca firman-Nya?

·       Sudahkah engkau shalat dengan hati yang benar-benar hadir?

·       Sudahkah engkau menyedekahkan hartamu dengan ikhlas?

·       Sudahkah engkau memaafkan orang yang menyakitimu?

Jika semua itu belum… apakah engkau tidak takut kalau ternyata sekarang adalah waktumu yang terakhir?

Maka, mari kita kurangi tawa yang melalaikan. Mari kita perbanyak tangisan karena takut kepada Allah. Tangisan yang menghapus dosa. Tangisan yang melembutkan hati. Tangisan yang membawa kita kembali kepada-Nya.

Berdoalah malam ini… dalam sepi… dalam sujud… dengan air mata…

“Ya Allah… aku terlalu banyak tertawa, terlalu banyak lalai. Aku lupa bahwa Engkau bisa mencabut nyawaku kapan saja. Ampunilah aku, ya Rabb. Kuatkan aku untuk kembali ke jalan-Mu. Jangan Engkau cabut nyawaku sebelum Engkau ridha padaku…”

Karena sungguh… tidak ada yang lebih menakutkan selain mati dalam keadaan belum siap.

Hati-hati tertawa… bisa jadi itu tawa terakhirmu. Maka sebelum tawa itu berubah jadi jeritan di alam kubur… kembalilah. Taubatlah. Berubahlah. Selagi masih ada waktu. Selagi nyawa masih di tenggorokan. Selagi Allah masih membukakan pintu ampunan.

Jangan tunggu sampai liang lahat memeluk tubuhmu dan engkau hanya bisa berkata, “Ya Allah… kembalikan aku ke dunia walau satu detik saja…” Tapi sayangnya… semua sudah terlambat.[BA]