PELITA MAJALENGKA - Di pelosok desa yang sepi dari sorotan kamera dan tak ramai disambangi pejabat, berdirilah sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) sederhana. Bangunannya mungkin tidak megah, plafonnya mungkin masih bolong di sana-sini, dan pagar sekolah itu hanya dari bambu seadanya.
Tapi siapa sangka, dari tempat sunyi
itu, lahir anak-anak yang suci hatinya, bersih jiwanya, dan sarat harapan.
Mereka adalah bunga-bunga surga yang menunggu disentuh dengan cinta, ilmu, dan
keteladanan.
Namun, membangun MI hebat dari desa
bukan perkara gampang. Ini bukan sekadar soal membangun gedung, melainkan
membangkitkan harapan, menyulut semangat, dan menghidupkan kembali nilai-nilai
gotong royong yang sudah lama terkikis modernitas.
Di sinilah pentingnya sinergi antara
guru, komite, dan masyarakat. Karena pendidikan bukan hanya urusan segelintir
orang, tapi tanggung jawab bersama umat.
1.
Guru: Pahlawan Tanpa Pangkat, Pemilik Jiwa Pengabdian
Guru di desa seringkali menghadapi
tantangan berat: gaji minim, fasilitas terbatas, dan murid yang datang dengan
banyak kekurangan. Tapi di balik itu semua, mereka menyimpan mutiara bernama
keikhlasan. Mereka adalah penjaga lilin ilmu yang tak pernah padam walau
diterpa badai.
Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik
kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya." (HR.
Bukhari). Di tangan para guru desa yang penuh cinta, anak-anak tak hanya
diajarkan membaca dan menulis, tetapi juga mengenal huruf-huruf Al-Qur’an,
melafazkan kalimat tauhid, dan dibimbing mengenal Rabb-nya.
Guru menjadi pondasi MI hebat. Tapi
mereka tidak bisa berjalan sendiri. Mereka butuh pelukan semangat dari komite
dan masyarakat. Mereka bukan robot, mereka manusia yang butuh didengarkan,
dihargai, dan dikuatkan.
2.
Komite Sekolah: Penjembatan Harapan dan Realitas
Seringkali komite sekolah hanya
diposisikan sebagai pelengkap administrasi. Padahal, jika dimaksimalkan, komite
bisa menjadi jembatan emas antara sekolah dan masyarakat. Mereka bukan hanya
perwakilan wali murid, tapi penyambung rasa antara guru dan lingkungan sosial.
Mereka tahu kebutuhan sekolah, memahami kondisi warga, dan bisa menjadi
penggerak perubahan.
MI hebat butuh komite yang aktif,
kreatif, dan ikhlas. Komite bisa membantu menyusun program strategis, menjadi
pelobi lokal untuk bantuan, serta mendampingi sekolah dalam pengambilan
kebijakan. Ketika guru dan komite saling percaya dan bekerjasama, lahirlah
kekuatan besar yang tak terlihat di angka-angka APBN.
3.
Masyarakat: Pemilik Sekolah, Pemilik Masa Depan
Sekolah bukan milik pemerintah.
Sekolah, apalagi MI di desa, adalah milik masyarakat. Tapi kesadaran ini
seringkali tertidur. Masyarakat merasa cukup menitipkan anaknya di sekolah,
lalu pergi tanpa merasa memiliki. Padahal, takkan mungkin pendidikan bisa hebat
kalau masyarakat bersikap apatis.
Rasulullah SAW mengingatkan, "Setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban
atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari & Muslim). Maka, orang tua
adalah pemimpin bagi pendidikan anaknya. Masyarakat adalah pemimpin bagi
keberlangsungan sekolahnya.
MI hebat dibangun oleh masyarakat
yang aktif membersamai sekolah. Mereka ikut bergotong-royong membenahi
fasilitas, menyumbang sesuai kemampuan, menghadiri rapat, ikut program
parenting, dan berpartisipasi dalam kegiatan madrasah.
4.
Kolaborasi yang Menghidupkan Harapan
Kolaborasi bukan slogan. Kolaborasi
adalah kerja hati, kerja rasa, kerja bersama. Dalam membangun MI hebat dari
desa, semua pihak harus saling mendekat, saling memahami, dan saling
meneguhkan. Guru tidak bisa merasa paling tahu. Komite tidak bisa merasa paling
penting. Masyarakat tidak bisa hanya menonton dari kejauhan.
Buat ruang komunikasi yang terbuka.
Duduk bersama dalam forum silaturahmi. Bicarakan kebutuhan sekolah, kendala
yang dihadapi, serta mimpi-mimpi yang ingin diwujudkan. Jadikan visi pendidikan
sebagai mimpi kolektif. Jika hanya guru yang bermimpi, sekolah akan letih. Tapi
jika seluruh warga desa bermimpi bersama, sekolah akan terbang tinggi.
5.
Nilai-nilai Islam sebagai Fondasi
Madrasah adalah tempat menanam iman.
Maka, nilai-nilai Islam harus menjadi fondasi kolaborasi. Setiap langkah
diwarnai dengan niat lillahi ta'ala. Setiap program dikawal dengan kejujuran
dan transparansi. Setiap kegiatan diselimuti dengan doa dan adab.
Ketika guru mengajar dengan cinta,
komite bekerja tanpa pamrih, dan masyarakat mendukung dengan ikhlas, Allah akan
turunkan pertolongan-Nya. Karena pendidikan bukan hanya soal kurikulum, tapi
soal niyyah dan barakah.
Allah berfirman, "Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan permusuhan." (Qs. Al-Ma’idah: 2). Membangun MI
dari desa adalah kebajikan yang agung. Maka, semua harus bersinergi dalam
kebaikan.
6.
Dari Desa untuk Dunia
Jangan remehkan MI di desa. Dari
desa lahir para pemimpin sejati. Dari bilik-bilik madrasah kecil tumbuh ulama
yang menggetarkan dunia. Karena bukan kemewahan yang menjadikan seseorang
hebat, tapi semangat dan iman yang kokoh.
Maka, mari kita bangun MI kita bukan
hanya agar anak-anak pintar membaca, tapi agar mereka tangguh dalam iman. Agar
mereka tumbuh menjadi generasi robbani, yang mencintai ilmu, beradab dalam
bertindak, dan siap menjadi pelita umat.
7.
Akhirnya, Semua Dimulai dari Cinta
MI hebat tak dibangun dari dana
besar, tapi dari cinta yang besar. Cinta guru kepada murid. Cinta komite kepada
sekolah. Cinta masyarakat kepada masa depan desanya. Ketika cinta itu mengalir,
maka sekolah akan hidup, meski tanpa anggaran yang cukup. Karena cinta membuat
orang bergerak, berkorban, dan berjuang.
Mari jadikan setiap langkah kita di
madrasah sebagai ibadah. Mari jadikan MI kita ladang amal yang pahalanya terus
mengalir. Kita bangun peradaban dari desa. Kita bangkitkan semangat umat dari
tempat yang sunyi. Kita buktikan bahwa MI hebat bisa lahir dari pelupuk
kampung.
Karena sejatinya, MI bukan hanya
tempat belajar. Ia adalah taman surga, tempat anak-anak mengenal Rabb-nya,
mengenal Rasul-Nya, dan mempersiapkan diri menjadi cahaya di tengah kegelapan
zaman.[BA]