Ayah Ada Tapi Tak Hadir, Ibu Dekat Tapi Tak Menyentuh


PELITA MAJALENGKA
- Di sebuah rumah yang terang oleh cahaya lampu, tapi gelap oleh kekosongan batin, tumbuh seorang anak yang setiap malam merindukan pelukan, tapi hanya mendapat tatapan kosong. Ia punya ayah, tapi seperti tidak memilikinya. 

Sosok itu ada, tapi kehadirannya seperti bayang-bayang di balik tirai: tak pernah betul-betul hadir. Ibu pun selalu di rumah, tapi kedekatannya tak lebih dari jarak fisik; tak ada sentuhan, tak ada dekap yang mampu meredam jerit sunyi sang anak.

Beginilah potret tragis yang perlahan menjadi biasa di era modern. Di mana para ayah sibuk menjadi "tulang punggung", hingga lupa bahwa anak-anak mereka tak hanya butuh uang, tapi juga butuh kehadiran. 

Dan para ibu sibuk dengan rutinitas rumah, gawai, atau pekerjaan, hingga tak lagi mampu membedakan antara memberi makan dan memberi kasih. Apa gunanya rumah mewah bila jiwa anak rapuh? Apa artinya sekolah mahal bila batin anak terus menjerit karena haus perhatian?

Anak-anak hari ini bukan kekurangan fasilitas, tapi kekurangan kehangatan. Bukan kekurangan makanan, tapi kelaparan cinta. Mereka hidup bersama orang tuanya, tapi merasa sebatang kara. Inilah tragedi sunyi yang tak pernah masuk berita. 

Tak ada kamera yang meliput luka-luka di hati anak, tak ada jurnalis yang menuliskannya, karena semua dianggap baik-baik saja. Padahal, di balik senyum palsu anak-anak itu, tersembunyi lara yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Seorang ayah yang ada secara fisik tapi tak hadir secara emosional adalah sosok yang paling menyakitkan. Ia tak pernah benar-benar tahu warna mata anaknya, tak tahu siapa sahabat dekat anaknya, tak paham apa mimpi dan ketakutannya. Ia lebih tahu grafik saham daripada kondisi emosional anak sendiri. 

Ketika ditanya soal keluarga, ia akan berkata, “Saya bekerja keras demi mereka.” Tapi ia lupa bahwa waktu yang dihabiskan untuk bekerja tak bisa menggantikan waktu yang hilang untuk mendengarkan cerita anak, memeluk mereka, atau sekadar tertawa bersama.

Sementara ibu, yang secara naluriah mestinya menjadi tempat pertama anak bersandar, kini justru menjadi sosok yang dingin. Sentuhan emosional tergantikan oleh bentakan, kalimat menyakitkan, atau bahkan keheningan. 

Kasih sayang menjadi barang mewah yang hanya muncul saat anak sedang sakit atau di acara-acara formal. Ibu yang mestinya menjadi tempat berlindung, justru menjadi sumber kecemasan. Anak tak lagi nyaman bercerita, karena takut dihakimi, dibandingkan, atau diabaikan.

Apa yang sedang terjadi?

Ini bukan sekadar masalah keluarga. Ini adalah krisis kemanusiaan dalam lingkup terkecil: rumah. Ketika rumah kehilangan kehangatan, dunia pun perlahan kehilangan arah. Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran emosional orang tua akan tumbuh menjadi pribadi yang gersang, hampa, mudah marah, penuh luka, dan sulit mempercayai orang lain. 

Mereka akan mencari pelarian, kadang lewat narkoba, pergaulan bebas, atau sekadar tenggelam dalam dunia maya yang semu. Mereka haus cinta, dan dunia digital menawarkan ilusi kehangatan yang tak mereka temukan di rumah.

Mereka tumbuh dengan pertanyaan yang tak terjawab: “Kenapa ayah tak pernah memelukku?” atau “Mengapa ibu tak pernah benar-benar mendengarkan?” Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi jerat luka yang menjerumuskan mereka ke dalam jurang pencarian tanpa arah. 

Anak-anak ini akan tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak tahu bagaimana mencintai dengan sehat, karena sejak kecil mereka tidak pernah dicintai dengan utuh.

Dan ketika mereka dewasa, luka itu diwariskan. Siklus pun berulang. Mereka akan menjadi ayah yang sama tak hadirnya, atau ibu yang sama dinginnya, karena mereka tak pernah belajar bagaimana menjadi orang tua dari orang tua mereka sendiri. Inilah lingkaran setan yang menghancurkan generasi demi generasi. Dan kita tidak boleh tinggal diam.

Saatnya orang tua bangun dari tidur panjang mereka. Saatnya menyadari bahwa membesarkan anak bukan hanya soal menyediakan makanan dan tempat tinggal, tapi juga soal memberi waktu, perhatian, dan cinta. Ayah, anakmu tidak butuh banyak uang. Ia butuh kau mendengarkan ceritanya tentang pertandingan bola di sekolah tadi siang. Ia butuh kamu menatap matanya saat ia berbicara. Ia butuh kamu hadir, bukan hanya ada.

Ibu, anakmu tidak hanya butuh nasi dan sayur. Ia butuh kamu memeluknya ketika hatinya lelah. Ia butuh kamu mendengarkan cerita lucunya tentang teman baru. Ia butuh kamu ada, bukan sekadar dekat. Sentuhanmu bisa menjadi penyembuh luka batinnya. Kata-katamu bisa menjadi obat yang tak ditemukan di apotek manapun. Jangan biarkan kesibukan membuatmu lupa bahwa kamu adalah pusat dunia bagi anakmu.

Jika hari ini kamu merasa sudah terlambat, ingatlah bahwa tak pernah ada kata terlambat untuk berubah. Mulailah dengan meminta maaf. Ya, minta maaflah pada anakmu karena selama ini kamu terlalu sibuk mengejar sesuatu yang tak lebih penting dari mereka. Peluklah mereka malam ini, ucapkan bahwa kamu mencintai mereka, walau mungkin terasa canggung pada awalnya. Tapi itu akan jadi titik balik yang luar biasa.

Anak-anak tak menuntut kesempurnaan. Mereka hanya butuh kehadiran yang tulus. Mereka tak menuntutmu menjadi ayah yang hebat atau ibu yang sempurna. Mereka hanya ingin tahu bahwa kamu mencintai mereka, peduli pada mereka, dan hadir dalam kehidupan mereka. 

Jadilah rumah yang benar-benar menjadi tempat pulang, bukan hanya tempat bermalam. Jadilah pelukan pertama saat mereka terluka, bukan hanya bayangan yang lewat di lorong rumah.

Jika kamu membaca ini dan merasa tertampar, bersyukurlah. Itu tandanya nurani dan kasihmu masih hidup. Gunakan perasaan itu untuk mulai berubah. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak orang sukses yang kaya raya tapi gagal menjadi orang tua. 

Dunia butuh lebih banyak pelukan, lebih banyak pelibatan, lebih banyak obrolan hangat antara ayah dan anak, ibu dan anak, tanpa gadget, tanpa gangguan, hanya hati yang terhubung.

Bangkitlah, wahai ayah yang terlalu lama diam. Hadirlah dengan utuh. Letakkan gawai, tinggalkan kantor lebih awal, dan pulanglah dengan niat menemani anakmu. Dengarkan mereka. Bermainlah bersama mereka. Jadilah pahlawan mereka bukan karena gaji, tapi karena kasihmu.

Bangkitlah, wahai ibu yang terlalu lama kering kasih. Lembutkan lagi hatimu. Jadilah taman bagi anakmu untuk tumbuh dan berkembang. Jadilah pelindung yang membuat mereka yakin bahwa dunia ini masih layak dijalani karena ada kamu yang mencintai tanpa syarat.

Dan bagi setiap anak yang membaca ini, yang hatinya pernah robek karena ayah yang tak hadir atau ibu yang tak menyentuh: maafkan mereka. Maafkan, bukan karena mereka pantas dimaafkan, tapi karena kamu pantas bahagia. Jadikan luka itu pelajaran. 

Jadilah orang tua yang kamu dambakan. Biarlah kamu yang memutus lingkaran luka itu. Mulailah dari dirimu. Kamu berhak menciptakan keluarga yang berbeda: yang hangat, penuh cinta, dan saling hadir.

Hidup ini terlalu singkat untuk saling mengabaikan. Rumah bukanlah tempat tidur dan dinding. Rumah adalah kehadiran, kasih, pelukan, dan pelibatan. Rumah adalah kamu, aku, kita — yang memilih untuk saling menyentuh hati dan jiwa, bukan hanya saling melintas seperti dua kapal di malam gelap. Mari kita pulang. Pulang ke hati anak-anak kita. Sebelum semuanya benar-benar terlambat.[BA]