Kursi Kepala Desa: Tempat Ibadah atau Ladang Gadai Akhirat?


PELITA MAJALENGKA
- Di pelosok negeri ini, kursi kepala desa bukan sekadar simbol kekuasaan administratif. Ia adalah tampuk kepercayaan, amanah rakyat, dan seharusnya menjadi panggung ibadah yang memancarkan kemaslahatan. Namun, realitasnya sering kali menyajikan ironi yang menyesakkan dada: jabatan yang seharusnya mengantar ke surga justru dijadikan ladang menggadai akhirat.

Bayangkan, seorang kepala desa bisa jadi imam bagi kaumnya dalam urusan dunia, tapi celakanya, justru jadi penyebab kerusakan sosial dan moral. Bukan karena kekurangan ilmu, tapi karena terlalu rakus terhadap dunia. Dana desa bukan lagi titipan yang harus dipertanggungjawabkan, melainkan 'pundi-pundi pribadi' yang dipoles dengan seribu justifikasi. Lantas, di mana rasa takut pada Allah?

Miris, ketika proses pencalonan penuh intrik dan sogokan. Seolah jabatan adalah barang dagangan, bukan amanah. Masyarakat dibuai janji manis, namun pasca terpilih, yang dibangun bukan balai desa tapi tembok-tembok kesombongan dan kerakusan. Padahal Rasulullah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”

Kursi kepala desa bukan sekadar tempat duduk empuk dalam ruang ber-AC. Ia adalah mihrab pelayanan. Setiap keputusan bisa menjadi amal jariyah atau petaka berkepanjangan. Kepala desa harus sadar, setiap notulen musyawarah bisa menjadi saksi di hadapan Allah: apakah ia berlaku adil, atau malah berpihak pada golongan kroninya?

Betapa menyedihkan jika jabatan hanya dimaknai sebagai peluang membangun dinasti politik kecil-kecilan. Anak, saudara, bahkan menantu ikut berebut peran, bukan untuk melayani tapi untuk menggali keuntungan. Desa bukan lagi rumah besar bagi warganya, tapi menjadi lahan kering karena diisap oleh pemimpinnya sendiri. Di sinilah akhirat mulai tergadai.

Wahai para kepala desa, jabatan kalian bukan tameng dari hisab, justru akan menjadi beban yang paling berat. Tak perlu menunggu KPK datang mengetuk pintu rumah, karena malaikat pencatat amal tak pernah tidur. Setiap tanda tangan yang menyalah, setiap anggaran yang dimanipulasi, akan kembali dalam bentuk azab jika tak disesali.

Seandainya para pemimpin desa memahami bahwa jabatan itu amanah, bukan harta warisan, niscaya mereka akan memimpin dengan takut pada Allah, bukan takut kehilangan proyek. Mereka akan tidur nyenyak bukan karena banyak uang, tapi karena hati tenang telah melayani rakyat dengan ikhlas.

Menjadi kepala desa bisa menjadi jalan menuju surga, jika diniatkan sebagai ladang ibadah. Menyelesaikan sengketa dengan adil, membantu warga tanpa pamrih, serta membangun desa dengan hati yang tulus adalah amal besar di sisi Allah. Tapi jika hanya menjadi batu loncatan menumpuk dunia, tunggulah kehancuran—baik di dunia maupun akhirat.

Saatnya kita semua, terutama yang bercita-cita atau sedang menjabat sebagai kepala desa, bertanya pada diri sendiri: Apakah saya sedang melayani umat dan membangun pahala, ataukah sedang menumpuk dosa dengan menggadaikan akhirat demi secuil dunia? Sebab pada akhirnya, bukan plang nama atau gelar yang menyelamatkan, tapi amal dan keikhlasan.[BA]