PELITA MAJALENGKA - Di pelosok negeri ini, kursi kepala desa bukan sekadar simbol kekuasaan administratif. Ia adalah tampuk kepercayaan, amanah rakyat, dan seharusnya menjadi panggung ibadah yang memancarkan kemaslahatan. Namun, realitasnya sering kali menyajikan ironi yang menyesakkan dada: jabatan yang seharusnya mengantar ke surga justru dijadikan ladang menggadai akhirat.
Bayangkan, seorang kepala desa bisa jadi imam
bagi kaumnya dalam urusan dunia, tapi celakanya, justru jadi penyebab kerusakan
sosial dan moral. Bukan karena kekurangan ilmu, tapi karena terlalu rakus
terhadap dunia. Dana desa bukan lagi titipan yang harus dipertanggungjawabkan,
melainkan 'pundi-pundi pribadi' yang dipoles dengan seribu justifikasi. Lantas,
di mana rasa takut pada Allah?
Miris, ketika proses pencalonan penuh intrik
dan sogokan. Seolah jabatan adalah barang dagangan, bukan amanah. Masyarakat
dibuai janji manis, namun pasca terpilih, yang dibangun bukan balai desa tapi
tembok-tembok kesombongan dan kerakusan. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Kursi kepala desa bukan sekadar tempat duduk
empuk dalam ruang ber-AC. Ia adalah mihrab pelayanan. Setiap keputusan bisa
menjadi amal jariyah atau petaka berkepanjangan. Kepala desa harus sadar,
setiap notulen musyawarah bisa menjadi saksi di hadapan Allah: apakah ia
berlaku adil, atau malah berpihak pada golongan kroninya?
Betapa menyedihkan jika jabatan hanya dimaknai
sebagai peluang membangun dinasti politik kecil-kecilan. Anak, saudara, bahkan
menantu ikut berebut peran, bukan untuk melayani tapi untuk menggali
keuntungan. Desa bukan lagi rumah besar bagi warganya, tapi menjadi lahan
kering karena diisap oleh pemimpinnya sendiri. Di sinilah akhirat mulai
tergadai.
Wahai para kepala desa, jabatan kalian bukan
tameng dari hisab, justru akan menjadi beban yang paling berat. Tak perlu
menunggu KPK datang mengetuk pintu rumah, karena malaikat pencatat amal tak
pernah tidur. Setiap tanda tangan yang menyalah, setiap anggaran yang
dimanipulasi, akan kembali dalam bentuk azab jika tak disesali.
Seandainya para pemimpin desa memahami bahwa
jabatan itu amanah, bukan harta warisan, niscaya mereka akan memimpin dengan
takut pada Allah, bukan takut kehilangan proyek. Mereka akan tidur nyenyak
bukan karena banyak uang, tapi karena hati tenang telah melayani rakyat dengan
ikhlas.
Menjadi kepala desa bisa menjadi jalan menuju
surga, jika diniatkan sebagai ladang ibadah. Menyelesaikan sengketa dengan
adil, membantu warga tanpa pamrih, serta membangun desa dengan hati yang tulus
adalah amal besar di sisi Allah. Tapi jika hanya menjadi batu loncatan menumpuk
dunia, tunggulah kehancuran—baik di dunia maupun akhirat.
Saatnya
kita semua, terutama yang bercita-cita atau sedang menjabat sebagai kepala
desa, bertanya pada diri sendiri: Apakah saya
sedang melayani umat dan membangun pahala, ataukah sedang menumpuk dosa dengan
menggadaikan akhirat demi secuil dunia? Sebab pada akhirnya, bukan plang
nama atau gelar yang menyelamatkan, tapi amal dan keikhlasan.[BA]