Gadget Lebih Didengar daripada Perintah Guru: Dunia Pendidikan di Ambang Krisis!


PELITA MAJALENGKA
- Di ruang kelas yang sunyi, seorang guru berdiri di depan papan tulis, menyampaikan materi dengan penuh semangat. Tapi tatapan para muridnya tertunduk. Bukan karena khusyuk menyimak, melainkan asyik menatap layar gadget. 

Jari-jemari mereka lincah menggeser layar, membuka TikTok, bermain gim, atau sekadar membalas pesan. Sementara suara sang guru menguap begitu saja, kalah nyaring dibanding notifikasi media sosial. Inilah potret nyata pendidikan hari ini. Ironis. Menyesakkan. Menyedihkan.

Fenomena ini bukan lagi kasuistik, melainkan sudah menjelma jadi gejala sistemik. Gadget telah berubah dari alat bantu menjadi pusat kendali perhatian. Anak-anak tak lagi memandang guru sebagai sumber ilmu, melainkan sebagai figur yang kalah menarik dibandingkan konten-konten viral. Perintah guru kalah pamor dibandingkan suara notifikasi. 

Nasihat guru kalah seru dibandingkan video prank dan challenge konyol di internet. Dunia pendidikan tengah memasuki masa genting. Dan jika kita diam saja, krisis ini bisa menjadi kehancuran yang permanen.

Gadget: Antara Inovasi dan Intimidasi

Mari kita jujur. Gadget diciptakan untuk memudahkan hidup manusia. Ia adalah representasi dari kemajuan teknologi yang luar biasa. Dalam dunia pendidikan, gadget bahkan sempat digadang-gadang sebagai alat bantu revolusioner untuk pembelajaran. Tapi seperti dua sisi mata uang, teknologi bisa menjadi berkah atau bencana—tergantung pada cara kita menggunakannya.

Masalahnya, anak-anak tidak lagi menggunakan gadget untuk belajar. Mereka terjerumus dalam dunia digital tanpa kendali. Mereka larut dalam candu gawai, menggantungkan hidupnya pada validasi like, comment, dan follower. Mereka lebih hafal nama-nama selebgram daripada nama pahlawan nasional. Lebih terkesan pada influencer yang menari di TikTok daripada guru yang membimbing mereka meniti masa depan.

Jika dulu guru adalah teladan dan panutan, kini mereka harus bersaing dengan layar kecil di tangan murid-murid mereka. Persaingan yang tak adil. Karena layar itu menawarkan hiburan instan, sensasi cepat, dan kepuasan tanpa proses. Sesuatu yang tak bisa diberikan oleh pendidikan sejati yang menuntut kesabaran, perjuangan, dan pengorbanan.

Krisis Otoritas dan Hilangnya Respek

Ketika gadget lebih didengar daripada guru, sesungguhnya kita sedang menyaksikan kehancuran otoritas moral dalam pendidikan. Guru bukan sekadar penyampai materi, tapi penjaga nilai, penuntun akhlak, dan pembentuk karakter. Ketika anak-anak lebih patuh pada algoritma media sosial daripada nasihat guru, berarti sistem nilai kita telah tergeser.

Bukan hanya guru yang kehilangan wibawa, tapi juga orang tua. Anak-anak kini merasa lebih nyaman curhat pada akun anonim di internet dibanding pada orang tuanya. Mereka mencari panutan bukan dari ustaz atau guru, tapi dari seleb-seleb digital yang hidup dalam kepalsuan dan kemewahan semu. 

Mereka meniru gaya hidup hedonis, ucapan kasar, bahkan gaya pacaran bebas dari tokoh-tokoh dunia maya, dan menganggap itu sebagai normalitas baru.

Inilah krisis yang sesungguhnya: hilangnya arah, runtuhnya panutan, dan bergesernya nilai. Pendidikan kehilangan rohnya, dan kita hanya bisa menonton dengan gelisah.

Sekolah Menjadi Tempat Singgah, Bukan Tempat Belajar

Banyak anak datang ke sekolah hanya karena kewajiban administratif. Mereka hadir secara fisik, tapi jiwanya mengembara ke dunia maya. Saat guru menjelaskan pelajaran, mereka justru membuka aplikasi video. Ketika diminta berdiskusi, mereka malah sibuk memotret dan membuat konten. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter kini berubah menjadi tempat pelarian dari kejenuhan rumah atau sekadar tempat mengisi waktu agar tidak dianggap “tidak bersekolah”.

Apa yang sedang kita hadapi bukan hanya degradasi semangat belajar, tapi juga hancurnya ikatan emosional antara guru dan siswa. Anak-anak tidak lagi merasa bahwa belajar itu penting. Mereka lebih memilih viral daripada pintar, terkenal daripada bermoral, dan kaya cepat daripada proses panjang membangun diri.

Guru: Pahlawan yang Terabaikan

Dalam kondisi ini, guru adalah pihak yang paling terpukul. Mereka harus berjuang dengan segala keterbatasan untuk tetap relevan. Mereka dipaksa mengikuti perkembangan teknologi, menghadapi murid yang tak menghargai, dan tetap berdiri tegak meski dunia seperti menyingkirkan mereka dari panggung utama.

Banyak guru mengeluh, tapi lebih banyak lagi yang memilih diam. Mereka tetap mengajar meski disakiti, tetap hadir meski disepelekan. Karena mereka percaya, pendidikan adalah jalan perjuangan. Tapi sampai kapan mereka mampu bertahan jika dukungan dari masyarakat, pemerintah, dan orang tua terus melemah?

Orang Tua: Peran yang Tak Bisa Dilepaskan

Perlu disadari, sekolah bukan satu-satunya tempat pendidikan. Orang tua adalah guru pertama dan utama. Namun banyak orang tua yang justru ikut menyerahkan anaknya pada gadget karena dianggap sebagai solusi praktis. Anak rewel, kasih gadget. Anak bosan, suruh nonton YouTube. Anak diam, artinya damai.

Padahal itulah awal kehancuran. Ketika pendidikan anak disubkontrakkan kepada teknologi tanpa kendali, maka kita sedang menanam benih generasi tumpul hati, dangkal pikir, dan rapuh jiwanya.

Menggugah Nurani: Saatnya Kita Bangkit Bersama

Masih ada harapan. Asalkan kita mau jujur melihat kenyataan dan berani mengambil tindakan. Pertama, orang tua harus kembali mengambil peran sebagai pendidik utama. Jangan jadikan gadget sebagai pengganti kasih sayang. Bangun komunikasi hangat dengan anak. Dampingi mereka dalam dunia digital. Ajarkan mereka nilai, bukan hanya larangan.

Kedua, sekolah harus menjadi tempat yang bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga membangun karakter. Kegiatan belajar harus disesuaikan dengan zaman, tapi tetap menjaga ruh pendidikan: membentuk manusia seutuhnya.

Ketiga, pemerintah perlu membuat kebijakan tegas dan berpihak pada pendidikan yang bermakna. Regulasi penggunaan gadget di sekolah, pelatihan guru, dan kontrol konten harus diperkuat.

Dan yang tak kalah penting, kita semua—masyarakat, tokoh agama, media—harus bersatu mendidik generasi. Jangan biarkan anak-anak tumbuh dalam dunia semu. Kita harus hadir, menjadi contoh, dan mendampingi mereka menemukan jati diri.

Pendidikan di Titik Kritis, Saatnya Bertindak!

Jika perintah guru tidak lagi didengar, tapi notifikasi gadget selalu direspons, maka kita sedang menuju jurang kehancuran. Dunia pendidikan di ambang krisis, dan penyelamatnya bukan sekadar teknologi canggih, tapi hati yang peduli dan jiwa yang sadar.

Anak-anak kita adalah masa depan. Jangan biarkan mereka tenggelam dalam dunia maya tanpa makna. Mari selamatkan mereka. Mari kembalikan kemuliaan guru. Mari bangun kembali peradaban, dimulai dari ruang kelas, dari rumah, dan dari hati nurani kita semua.

Karena jika bukan sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?[BA]