7 Fakta Mengejutkan: Warga Israel yang Tidak Menginginkan Perang

Bangunan di Israel juga banyak yang hancur akibat perang (foto: cnbc indonesia)
PELITA MAJALENGKA - Meski Israel kerap dipersepsikan sebagai bangsa yang kompak mendukung operasi militer, kenyataan terbaru menunjukkan nuansa yang berbeda. Survei, aksi massa, hingga penolakan wajib militer menegaskan bahwa sebagian besar warga Israel kini justru menginginkan perang Gaza segera diakhiri. 

Fenomena ini menandai perubahan opini publik yang cukup signifikan, sekaligus mengguncang narasi bahwa masyarakat Israel sepenuhnya berada di belakang pemerintah dan militernya.

1. Mayoritas Israel Ingin Mengakhiri Perang Gaza

Data dari Israel Democracy Institute memperlihatkan pergeseran opini yang tajam: 53% warga Israel menilai sudah saatnya perang di Gaza diakhiri. Dukungan ini semakin kuat di kalangan Arab Israel yang hampir bulat menuntut segera dihentikannya konflik. Angka ini mematahkan asumsi bahwa mayoritas publik Israel secara otomatis mendukung operasi militer tanpa batas waktu.

2. Pertukaran Tahanan Jadi Jalan Damai

Survei Walla bersama Panel4All pada Juni 2025 memperkuat temuan tersebut. Sebanyak 67% responden menyatakan mendukung penghentian perang bila disertai dengan pertukaran tahanan. Pilihan diplomasi ini mencerminkan adanya prioritas baru di kalangan masyarakat Israel—keselamatan sandera dan keluarga mereka dinilai lebih penting dibanding terus melanjutkan perang yang berlarut-larut.

3. Gerakan Penolakan Wajib Militer

Gelombang protes juga merambah barisan militer. Gerakan Mesarvot (reservis yang menolak dipanggil kembali) dan organisasi Yesh Gvul kembali menguat. Yesh Gvul yang dikenal sejak era invasi Lebanon 1980-an kini kembali menegaskan penolakannya atas penugasan militer di wilayah pendudukan. Fenomena ini menjadi sinyal bahwa perang tidak hanya ditolak oleh masyarakat sipil, tetapi juga oleh sebagian kalangan militer sendiri.

4. Demonstrasi Massal Menuntut Perdamaian

Protes jalanan semakin intens. Pada Agustus 2025, puluhan ribu orang turun ke jalan di Tel Aviv, Yerusalem, dan beberapa titik strategis lain. Bahkan pada 9 Agustus, lebih dari 100 ribu pengunjuk rasa membanjiri Tel Aviv menuntut gencatan senjata serta pembebasan tahanan. Menurut Reuters dan The Guardian, skala demonstrasi ini merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah Israel modern, menandakan akumulasi kekecewaan publik terhadap kebijakan perang.

5. Perdebatan Etika dan Krisis Kemanusiaan

Meski tuntutan gencatan senjata menguat, sebuah polling menunjukkan bahwa 79% warga Yahudi Israel mengaku “tidak terlalu terpengaruh” oleh laporan kelaparan di Gaza. Data dari Vox ini memperlihatkan adanya jurang empati yang serius. Namun, di sisi lain, kelompok oposisi yang terdiri dari mantan pejabat keamanan, seniman, hingga aktivis politik, terus bersuara lantang soal moralitas perang. Kritik terhadap apatisme ini semakin menambah dinamika diskursus publik.

6. Kritik dari Pemimpin Politik

Tokoh politik seperti Yair Golan, pemimpin oposisi dari sayap tengah-kiri, secara terbuka mengecam strategi militer pemerintah. Ia menyoroti penderitaan warga Palestina sekaligus mempertanyakan efektivitas perang berkepanjangan. Meskipun menuai kontroversi, suara-suara semacam ini berhasil menembus ruang publik dan menambah tekanan moral terhadap elit pemerintahan Israel.

7. Seruan Moral: “Never Again”

Demonstrasi di Tel Aviv juga membawa simbol moral yang kuat. Banyak pengunjuk rasa menyerukan “never again”—istilah yang merujuk pada tragedi Holocaust. Ironisnya, slogan ini digunakan untuk menuntut agar Israel tidak terjerumus pada praktik yang dinilai kejam dan tidak manusiawi terhadap warga Gaza. Seruan moral ini menunjukkan adanya refleksi mendalam di kalangan sebagian warga Israel tentang posisi negaranya di mata dunia.

Rangkaian fakta ini menunjukkan bahwa dukungan publik Israel terhadap perang Gaza tidaklah monolitik. Survei, protes jalanan, penolakan wajib militer, hingga kritik politik menggarisbawahi satu hal: semakin banyak warga Israel yang menginginkan jalan damai

Tekanan moral, kepentingan keluarga sandera, serta kesadaran akan krisis kemanusiaan menjadi pendorong utama. Fenomena ini memperlihatkan wajah lain dari Israel—masyarakat yang terbelah, antara mereka yang tetap mendukung strategi militer dan mereka yang mendesak segera berakhirnya konflik.[BA]