
DI DUNIA yang riuh dengan pendapat, suara paling jernih seringkali tenggelam dalam kebisingan. Kita hidup di zaman ketika setiap orang bisa bersuara, tapi hanya sedikit yang memilih untuk berkata dengan hati. Maka, di tengah semua itu, kita butuh satu hal yang sangat penting: kritik yang bijak.
Kritik bukan tentang merobohkan,
tapi tentang mengingatkan. Ia bukan sebilah pedang yang melukai, tetapi lentera
yang menuntun. Kritik bijak tidak lahir dari kebencian, melainkan dari cinta
yang dalam—kepada bangsa, kepada umat, kepada sesama manusia.
Hari ini, terlalu banyak orang yang
berlomba-lomba menyalahkan, mencaci, menyindir, bahkan menghina. Tapi, berapa
banyak yang benar-benar peduli? Yang mau duduk bersama, mendengar, merangkul,
dan berkata, “Ayo, kita perbaiki bersama”? Inilah esensi kritik bijak: ia
membangun tanpa meruntuhkan, menegur tanpa menghina, mengingatkan tanpa
merendahkan.
Kita semua pernah kecewa. Kepada
pemimpin yang tidak amanah. Kepada sistem yang pincang. Kepada ketidakadilan
yang terus berulang. Tapi kita juga punya pilihan: mengubah kekecewaan itu
menjadi dendam, atau menjadikannya bahan bakar untuk perubahan. Dan perubahan
sejati tidak lahir dari amarah membabi buta, melainkan dari suara yang bersih,
tenang, dan tulus—yang menyentuh nurani.
Seorang bijak pernah berkata, “Kritik
terbaik adalah yang disampaikan seperti doa: penuh harap, tanpa kebencian.”
Cobalah kita renungkan sejenak. Jika kita menyayangi seseorang yang tersesat,
apakah kita akan memaki-makinya? Ataukah kita akan mendekatinya, merangkulnya,
dan membisikkan nasihat dengan lembut? Begitu pula seharusnya kritik
disampaikan—dengan cinta, bukan caci.
Kritik bijak bukan berarti lembek
atau takut berkata jujur. Justru sebaliknya, ia adalah keberanian yang dituntun
akhlak. Ia adalah suara keras yang dibungkus kelembutan. Ketika kita mengkritik
dengan bijak, kita tidak sekadar menyampaikan fakta, tetapi juga menyalakan
harapan bahwa keadaan bisa berubah.
Sastra, pidato, tulisan, hingga
sekadar bisikan pribadi—semua bisa menjadi ladang kritik bijak. Yang penting
bukan seberapa keras kita berbicara, tetapi seberapa dalam niat kita untuk
memperbaiki. Karena tidak semua yang keras itu kuat, dan tidak semua yang
lembut itu lemah. Kadang, kata-kata paling pelan justru mampu mengubah dunia.
Mari kita menjadi pribadi yang
berani bersuara, namun tetap menjaga adab. Yang tegas dalam menyampaikan
kebenaran, namun tetap halus dalam cara. Jangan jadikan kritik sebagai alat
pelampiasan emosi, tetapi sebagai cermin kebaikan. Jangan pula takut
dikritik—karena kritik yang bijak adalah tanda bahwa masih ada yang peduli pada
kita.
Untuk para pemimpin, dengarkan
kritik sebagai suara rakyat, bukan teriakan pembangkang. Untuk para rakyat,
sampaikan kritik dengan penuh hormat, bukan penuh amarah. Karena ketika kritik
dan penerimaan berjalan beriringan, di situlah perubahan akan menemukan
jalannya.
Kritik bijak adalah bentuk ibadah.
Ia adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang disampaikan dengan hikmah
dan pelajaran yang baik. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An-Nahl: 125)
Akhirnya, marilah kita latih diri
menjadi pribadi yang tidak hanya mampu melihat kesalahan, tetapi juga mampu
menawarkan perbaikan. Jadikan lidah kita bukan hanya sebagai pedang, tetapi
juga sebagai obat. Karena dunia ini tidak kekurangan orang pintar, tetapi
sangat kekurangan orang bijak.
Kritiklah dengan hati. Sampaikanlah
dengan cinta. Perbaikilah dengan adab.
Maka dunia akan lebih mendengar, dan manusia akan lebih berubah.[Ba]